Minggu, 08 Agustus 2010

Program Imunisasi

Menurut Direktorat Jenderal PPM & PL (2005:1), Program imunisasi merupakan salah satu upaya pelayanan kesehatan yang bertujuan untuk menurunkan angka kesakitan, kecacatan dan kematian dari penyakit-penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Program imunisasi sudah terorganisir sejak tahun 1956. Saat ini program imunisasi telah mengembangkan berbagai jenis vaksinasi yaitu BCG, DPT, DT, TT, Polio, Campak, Hepatitis B, dan DPT-HB.

Dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1059/MENKES/SK/IX/2004, disebutkan bahwa pokok-pokok kegiatan dalam Program Imunisasi, yaitu:

1) Imunisasi Rutin

Kegiatan imunisasi rutin adalah kegiatan imunisasi yang secara rutin dan terus menerus harus dilaksanakan pada periode waktu yang telah ditetapkan. Berdasarkan kelompok usia sasaran, imunisasi rutin dibagi menjadi:
a) Imunisasi rutin pada bayi.
b) Imunisasi rutin pada wanita usia subur.
c) Imunisasi rutin pada anak sekolah.
Pada kegiatan imunisasi rutin terdapat kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk melengkapi imunisasi rutin pada bayi dan wanita usia subur (WUS) seperti kegiatan sweeping pada bayi dan kegiatan akselerasi Maternal Neonatal Tetanus Elimination (MNTE) pada WUS.

2) Imunisasi Tambahan

Kegiatan imunisasi tambahan adalah kegiatan imunisasi yang tidak rutin dilaksanakan, hanya dilakukan atas dasar ditemukannya masalah dari hasil pemantauan, atau evaluasi. Yang termasuk dalam kegiatan imunisasi tambahan ini adalah :
a) Backlog Fighting. Backlog fighting adalah upaya aktif melengkapi imunisasi dasar pada anak yang berumur 1 - 3 tahun pada desa non UCI (Universal Child Immunization) setiap 2 (dua) tahun sekali.
b) Crash Program. Kegiatan ini ditujukan untuk wilayah yang memerlukan intervensi secara cepat karena masalah khusus seperti :
(1) Angka kematian bayi tinggi, angka Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) tinggi.
(2) Infrastruktur (tenaga, sarana, dana) kurang.
(3) Untuk memberikan kekebalan pada kelompok sasaran yang belum mendapatkan pada saat imunisasi rutin.
c) Imunisasi Dalam Penanganan KLB (Outbreak Respons). Pedoman pelaksanaan imunisasi dalam penanganan KLB di sesuaikan dengan situasi epidemiologis penyakit.
d) Kegiatan-kegiatan imunisasi massal untuk antigen tertentu dalam wilayah yang luas dan waktu yang tertentu, dalam rangka pemutusan mata rantai penyakit antara lain :
(1) PIN (Pekan Imunisasi Nasional. Merupakan suatu upaya untuk mempercepat pemutusan siklus kehidupan virus polio importasi dengan cara memberikan vaksin polio kepada setiap balita termasuk bayi baru lahir tanpa mempertimbangkan status imunisasi sebelumnya, pemberian imunisasi dilakukan 2 (dua) kali masing-masing 2 (dua) tetes dengan selang waktu 1 (satu) bulan. Pemberian imunisasi polio pada waktu PIN di samping untuk memutus rantai penularan, juga berguna sebagai booster atau imunisasi ulangan polio.
(2) Sub PIN. Merupakan suatu upaya untuk memutuskan rantai penularan polio bila ditemukan satu kasus polio dalam wilayah terbatas (kabupaten) dengan pemberian dua kali imunisasi polio dalam interval satu bulan secara serentak pada seluruh sasaran berumur kurang dari satu tahun.
e) Catch Up Campaign Campak. Merupakan suatu upaya untuk pemutusan transmisi penularan virus campak pada anak sekolah dan balita. Kegiatan ini dilakukan dengan pemberian imunisasi campak secara serentak pada anak sekolah dasar dari kelas satu hingga kelas enam, tanpa mempertimbangkan status imunisasi sebelumnya. Pemberian imunisasi campak pada waktu catch up campaign campak di samping untuk memutus rantai penularan, juga berguna sebagai booster atau imunisasi ulangan (dosis kedua).

Minggu, 16 Mei 2010

DIARE

Definisi Diare

Diare adalah buang air besar lembek atau cair bahkan dapat berupa air saja yang frekuensinya lebih sering dari biasanya (biasanya 3 kali atau lebih dalam sehari). Orang yang mengalami diare akan kehilangan cairan tubuh sehingga menyebabkan dehidrasi tubuh. Hal ini dapat membahayakan jiwa,khususnya pada nak dan orang tua.
Diare terutama diare akut sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan, tidak saja di negara sedang berkembang tetapi juga di negara maju. Diperkirakan oleh WHO ada sekitar 4 miliyar kasus diare akut setiap tahun dengan mortalitas 3-4 juta per tahun (Soewono, 2002). Menurut data Badan Kesehatan Dunia (WHO), diare adalah penyebab nomor satu kematian balita di seluruh dunia. Di Indonesia, diare adalah pembunuh balita nomor dua setelah ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut). Sementara UNICEF (Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk urusan anak) memperkirakan bahwa setiap 30 detik ada satu anak meninggal dunia karena diare.

Kelompok Resiko Diare

Individu yang rentan terhadap diare ini adalah bayi, anak-anak usia sekolah, lanjut usia, individu dengan gangguan asam lambung, menderita imunodefisiensi, resiko tinggi terpapar enteropathogens, dan konsumsi antibiotika, seperti pada tabel di bawah ini :

Tabel. 2.1 Faktor Resiko dan Kelompok Resiko Diare



Jenis Diare

Ada beberapa jenis diare, adalah sebagai berikut :
1. Diare akut, yaitu diare yang berlangsung kurang dari 14 hari (umumnya kurang dari 7 hari). Akibat dari diare akut adalah dehidrasi, sedangkan dehidrasi merupakan penyebab utama kematian bagi penderita diare.
2. Disentri, yaitu diare yang disertai darah dalam tinjanya. Akibat disentri adalah anoreksia, penurunan berat badan dengan cepat, kemungkinan terjadinya komplikasi pada mukosa.
3. Diare persisten, yaitu yang berlangsung lebih dari 14 hari secara terus menerus. Akibat diare ini adalah penurunan berat badan dan gangguan metabolisme.
4. Diare dengan masalah lain. Anak yang menderita diare (diare akut atau diare persisten) mungkin juga disertai dengan penyakit lain, seperti : demam, gangguan gizi atau penyakit lainnya.

Adapun diare yang memerlukan pengawasan medis, antara lain :
a. Diare pada balita
b. Diare menengah atau berat pada anak-anak
c. Diare yang bercampur dengan darah
d. Diare yang terus terjadi lebih 2 minggu
e. Diare yang disertai dengan penyakit umumlainnya seperti sakit perut, demam, kehilangan berat badan, dan lain-lain.
f. Diare pada orang bepergian (kemungkinan terjadi infeksi yang eksotis seperti parasit).
g. Diare dalam institusi seperti rumah sakit, perawatan anak, institusi kesehatan mental.

Penyebab Diare

1. Infeksi dari berbagai bakteri yang disebabkan oleh kontaminasi makanan maupun air minum.
2. Infeksi berbagai macam virus.
3. Alergi makanan, khususnya susu atau laktosa (makanan yang mengandung susu).
4. Parasit yang masuk ke tubuh melalui makanan atau minuman yang kotor.
5. Diare juga dapat disebabkan oleh konsumsi alkohol yang berlebihan, terutama dalam seseorang yang tidak cukup makan.

Etiologi dan Epidemiologi

1. Etiologi
Penyebab diare dapat dikelompokkan dalam 6 golongan besar, yaitu : infeksi, malabsorbsi, alergi, keracunan, immunodefisiensi, dan penyebab lain. Yang sering ditemukan di lapangan adalah diare yang disebabkan infeksi dan keracunan.
2. Epidemiologi
a. Penyebaran kuman yang menyebabkan diare
Kuman penyebab diare biasanya menyebar melalui fecal oral antara lain melalui makanan atau minuman yang tercemar tinja atau kontak langsung dengan tinja penderita.
Beberapa perilaku yang dapat menyebabkan penyebaran enterik dan meningkatkan resiko terjadinya diare. Perilaku tersebut antara lain :
1. Tidak memberikan ASI secara penuh 4-6 bulan pada pertama kehidupan. Pada bayi yang tidak diberi ASI resiko untuk menderita diare lebih besar dari bayi yang diberi ASI penuh, dan kemungkinan menderita dehidrasi berat lebih besar.
2. Menggunakan botol susu, penggunaan botol ini memudahkan pencemaran oleh kuman karena botol susah dibersihkan.
3. Menyimpan makanan pada suhu kamar. Bila makanan disimpan beberapa jam pada suhu kamar, makanan akan tercemar dan kuman akan berkembang biak.
4. Menggunakan air minum yang tercemar. Air mungkin sudah tercemar dari sumbernya atau pada saat disimpan di rumah. Pencemaran di rumah dapat terjadi kalau tempat penyimpanan tidak tertutup atau apabila tangan yang tercemar menyentuh air pada saat mengambil air dari tempat penyimpan.
5. Tidak mencuci tangan sesudah buang air besar dan sesudah membuang tinja anak atau sebelum makan dan menyuapi anak.
6. Tidak membuang tinja (termasuk tinja bayi) dengan benar. Seiring beranggapan bahwa tinja bayi tidaklah berbahaya, padahal sesungguhnya mengandung virus atau bakteri dalam jumlah besar. Selain itu, tinja binatang dapat pula menyebabkan infeksi pada manusia.

b. Faktor pejamu yang meningkatkan kerentanan diare
Beberapa faktor pejamu penting yang dapat meningkatkan insiden, beratnya penyakit dan lama diare. Faktor-faktor tersebut adalah :
1. Tidak memberikan ASI sampai 2 tahun. ASI mengandung antibodi yang dapat melindungi kita terhadap berbagai kuman penyebab diare seperti : Shigella dan V. Cholerae.
2. Kurang gizi. Beratnya penyakit, lama dan resiko kematian karena diare meningkat pada anak-anak yang menderita gangguan gizi, terutama pada penderita gizi buruk.
3. Campak, Diare, dan Disentri sering terjadi dan berakibat pada anak-anak yang sedang menderita campak dalam 4 minggu terakhir. Hal ini sebagai akibat dari penurunan kekebalan tubuh penderita.
4. Immunodefisiensi/imunosupresi. Keadaan ini hanya berlangsung sementara, misalnya sesudah infeksi virus (seperti campak).

MAKANAN PENDAMPING ASI (MP-ASI)

Pengertian MP-ASI

MP-ASI (Makanan Pendamping Air Susu Ibu) adalah makanan atau minuman yang mengandung zat gizi, diberikan pada bayi atau anak usia 6-24 bulan guna memenuhi kebutuhan gizi selain dari ASI (Depkes RI, 2006). MP-ASI merupakan makanan peralihan dari ASI ke makanan keluarga. Pengenalan dan pemberian MP-ASI harus dilakukan secara bertahap baik bentuk maupun jumlahnya, sesuai dengan kemampuan bayi atau anak. Pemberian MP-ASI yang cukup kualitas dan kuantitasnya penting untuk pertumbuhan fisik dan perkembangan kecerdasan anak yang sangat pesat pada periode ini (Depkes dan Kesos RI, 2000).
Makanan Pendamping ASI adalah makanan atau minuman yang mengandung gizi diberikan kepada bayi/anak untuk memenuhi kebutuhan gizinya. Semakin meningkat umur bayi/anak, kebutuhan akan zat gizi semakin bertambah karena tumbuh kembang, sedangkan ASI yang dihasilkan kurang memenuhi kebutuhan gizi. MP-ASI merupakan makanan peralihan dari ASI ke makanan keluarga. Pengenalan dan pemberian MP-ASI harus dilakukan secara bertahap baik bentuk maupun jumlahnya, sesuai dengan kemampuan pencernaan bayi/anak. Pemberian MP-ASI yang cukup dalam hal kualitas dan kuantitas penting untuk pertumbuhan fisik dan perkembangan kecerdasan anak yang bertambah pesat pada periode ini (Azrul Azwar, 2000).

Bahan-bahan Makanan Pendamping ASI

Makanan campuran yang ideal untuk bayi atau anak dibawah usia dua tahun (baduta) harus mengandung enam kelompok bahan pangan sebagai berikut :
a. Makanan Pokok
Makanan pokok adalah makanan yang dikonsumsi dalam jumlah yang paling banyak dibandingkan jenis-jenis makanan lainnya dan mengandung zat tepung sebagai sumber tenaga untuk melaksanakan aktivitas sehari-hari. Makanan pokok penduduk Indonesia sangat bervariasi karena makanan pokok sangat erat hubungannya dengan sumber daya pertanian setempat. Jenis-jenis makanan pokok yang dikonsumsi penduduk Indonesia adalah beras, jagung, singkong, ubi jalar, sagu, dan beberapa jenis umbi-umbian seperti talas, ganyong, dan kentang. Makanan pokok merupakan bahan dasar yang sangat baik untuk membuat makanan pendamping ASI sebab biasanya lebih murah dibandingkan jenis makanan lain, lebih mudah didapat, dan juga merupakan sumber utama karbohidrat serta kadang-kadang juga mengandung zat-zat lain yang diperlukan untuk pertumbuhan. Bubur yang lembut, kental, dan gurih dapat dibuat dari makanan pokok apapun dan dapat diberikan sebagai pendamping ASI (Krisnatuti, 2000).
b. Kacang-kacangan
Indonesia sangat kaya jenis kacang-kacangan, mulai kacang tanah, kedelai, kacang hijau, kacang tunggak, kacang merah, kacang bogor, kacang koro, kacang mede, dan masih banyak lagi jenis kacang-kacangan yang khas di daerah tertentu. Kacang-kacangan diperlukan juga oleh bayi untuk memenuhi kebutuhan protein yang sangat penting untuk pertumbuhan. Kelebihan lain dari kacang-kacangan ini adalah harganya yang lebih murah dibandingkan bahan pangan sumber protein yang berasal dari hewan.
Kulit luar kacang-kacangan sulit dicerna, tetapi melalui pemasakan yang benar dan baik, masalah ini dapat diatasi. Pertama, kacang-kacangan harus direndam terlebih dahulu beberapa saat, kemudian direbus sampai lunak. Kulit arinya dapat dihilangkan dengan cara menggerus atau menyering. Agar bayi menyukai rasa kacang-kacangan maka pemberiannya harus dimulai sedikit demi sedikit. Pertama, campurkan sedikit kacang-kacangan ke dalam bubur, kemudian secara bertahap porsi kacang ditingkatkan secara perlahan (Krisnatuti, 2000).
c. Bahan pangan hewani
Hampir semua bahan pangan yang berasal dari hewan, bergizi tinggi dan sangat baik digunakan sebagai campuran makanan bayi. Namun, bahan pangan hewani umumnya mahal dan tidak mudah diperoleh. Bahan pangan hewani yang baik untuk bayi, antara lain daging sapi, ayam termasuk jeroannya (terutama hati), ikan segar baik ikan air tawar maupun laut, telur dan susu beserta hasil olahannya, seperti keju dan susu asam (yoghurt).
Sebaiknya, daging dicincang atau ditumbuk halus terlebih dahulu sebelum dimasak, sedangkan ikan harus dipisahkan dari durinya secara teliti, kemudian dicincang. Bagian telur yang diberikan umumnya bagian kuningnya saja setelah direbus terlebih dahulu, kemudian dihaluskan dan dicampurkan ke dalam bubur (Krisnatuti, 2000).
d. Sayuran berwarna
Masyarakat Indonesia juga sangat menyukai sayuran. Beranekaragam jenis sayuran dapat diolah menjadi hidangan yang lezat dan bergizi. Sayuran harus diperkenalkan kepada bayi sedini mungkin. Jenis sayuran yang lebih baik untuk campuran makanan bayi adalah sayuran yang kaya akan kandungan karotennya, seperti sayuran berwarna jingga dan hijau. Biasanya, semakin hijau tua dan semakin cerah jingganya kandungan karotennya semakin baik.
Oleh karena organ pencernaan bayi belum sempurna, sebaiknya dipilih sayuran yang lunak, tidak menimbulkan rasa merangsang (asam, pahit, pedas) dan tidak berbau daun. Contoh sayuran yang umum dipergunakan sebagai bahan campuran makanan bayi adalah wortel, tomat merah, bayam, kangkung, sawi hijau, dan sayuran direbus atau dikukus hingga lunak, kemudian dicincang atau diparut. Hasil cincangan atau parutan dicampurkan kedalam bubur (Krisnatuti, 2000).
e. Buah-buahan
Ketersediaan beberapa jenis buah sangat tergantung musim. Pilihlah buah yang sudah masak dan pastikan bahwa buah tersebut tidak asam. Sebaiknya, pilih buah yang berwarna jingga, seperti halnya sayuran (semakin cerah warna jingganya semakin baik). Selain mengandung vitamin dan mineral, pisang pun mengandung karbohidrat. Oleh karena itu, pisang sering dipakai sebagai makanan awal bayi berusia diatas 6 bulan. Buah-buahan lain yang baik untuk bayi antara lain pepaya, mangga, dan jeruk manis. Sebelum dikupas, cuci buah sampai bersih dan setelah dikupas buah dicuci kembali menggunakan air matang. Untuk bayi yang masih berumur 5-7 bulan, buah harus diparut atau ditumbuk, kemudian disaring. Dengan demikian, bayi hanya diberi sari buah saja. Setelah bayi berumur 8 bulan, sari buah tidak perlu disaring lagi sehingga dapat diminum bersama ampasnya. Setelah anak berumur satu tahun, buah dapat diberikan dalam potongan-potongan kecil karena bayi sudah dapat mengunyah (Krisnatuti, 2000).
f. Lemak dan minyak
Lemak dan minyak perlu ditambahkan dalam makanan bayi karena mengandung energi yang tinggi. Lemak dan minyak pun memberi rasa lebih gurih dan makanan menjadi lebih lunak dan mudah ditelan. Gula atau madu dapat menambah energi, selain memberikan rasa manis. Akan tetapi, fungsi gula atau madu bagi tubuh tidak sebaik lemak dan minyak. Beberapa jenis lemak yang dapat ditambahkan pada makanan bayi, antara lain mentega, margarin, keju, dan lemak dari binatang lainnya. Jenis minyak yang umum digunakan, yaitu minyak kelapa, santan, minyak kacang, minyak jagung, dan minyak nabati lainnya (Krisnatuti, 2000).

Manfaat Makanan Pendamping ASI

Tujuan pemberian makanan pendamping ASI adalah untuk menambah energi dan zat-zat gizi yang diperlukan bayi karena ASI tidak dapat memenuhi kebutuhan bayi secara terus menerus. Pertumbuhan dan perkembangan anak yang normal dapat diketahui dengan cara melihat kondisi pertambahan berat badan anak. Apabila setelah usia 6 bulan, berat badan seorang anak tidak mengalami peningkatan, menunjukkan bahwa kebutuhan energi dan zat-zat gizi bayi tidak terpenuhi. Hal ini dapat disebabkan asupan makanan bayi harus mengandalkan ASI saja atau pemberian makanan tambahan kurang memenuhi syarat. Di samping itu, faktor terjadinya infeksi pada saluran pencernaan memberikan pengaruh yang cukup besar.
Selain sebagai pelengkap ASI, pemberian makanan tambahan sangat membantu bayi dalam proses belajar makan dan kesempatan untuk menanamkan kebiasaan makan yang baik. Dalam hal ini, para orang tua dianjurkan untuk memperkenalkan bermacam-macam bahan makanan yang sesuai dengan kebutuhan fisiologis bayi serta aneka ragam makanan dari daerah setempat. Pemberian makanan dari daerah setempat sejak dini akan memungkinkan anak yang bersangkutan menyukai makanan tersebut sampai anak beranjak dewasa.
Selama proses belajar, berbagai jenis makanan tambahan harus dikenalkan kepada bayi secara bertahap, mulai makanan yang berbentuk cair, semi padat, dan padat. Dikarenakan bayi adalah bagian dari keluarga maka tahap akhir dari proses belajar adalah memperkenalkan aneka makanan keluarga. Pada saat anak berusia 24 bulan, makanan keluarga inilah yang akan memenuhi kebutuhan zat gizi anak.
Harus diperhatikan bahwa apabila makanan pendamping ASI sudah diberikan kepada bayi sejak dini (di bawah 4 bulan) maka asupan gizi yang dibutuhkan oleh bayi tidak sesuai dengan kebutuhannya. Selain itu, sistim pencernaan bayi akan mengalami gangguan, seperti sakit perut, sembelit (susah buang air besar), dan alergi. Pemberian makanan pendamping ASI yang tepat adalah setelah bayi berumur 6 bulan (Krisnatuti, 2000).

Dampak Pemberian MP-ASI Terlalu Dini pada Bayi

Dalam Badan Standarisasi Nasional (2003:1) Azwar (2002) menyatakan bahwa pemberian makanan tambahan terlalu dini kepada bayi sering ditemukan dalam masyarakat seperti pemberian pisang, madu, air tajin, air gula, air susu formula, dan makanan lain sebelum bayi berusia 6 bulan.
Adapun resiko pemberian makanan tambahan terlalu dini, yaitu : jangka pendek dan jangka panjang. Resiko jangka pendek adalah mengurangi keinginan bayi untuk menyusui sehingga frekuensi dan kekuatan bayi menyusui berkurang dengan akibat produksi ASI berkurang. Dan juga pemberian makanan dini seperti pisang nasi di daerah pedesaan di Indonesia sering menyebabkan penyumbatan saluran cerna/diare karena liat dan tidak bisa dicerna yang disebut phyto bezoar yang dapat menyebabkan kematian.
Sedangkan risiko jangka panjangnya dihubungkan dengan pemberian makanan tambahan yang tepat diberikan adalah obsesitas, hipertensi, arteriosklerosis dan alergi makanan. Mayer dkk (1988) melaporkan 2-26% diabetes melitus yang bergantung pada insulin pada anak disebabkan oleh pemberian susu formula terlalu dini. Davis dkk (1988) melaporkan pada anak di bawah l5 tahun risiko terjadinya limfoma adalah 5-8 kali bila tidak mendapat ASI atau menyusui kurang dari 6 bulan pada masa bayi.
Selain itu, pemberian makanan padat dini akan menyebabkan kerusakan saluran pencernaan dan menimbulkan gejala Penyumbatan Saluran Pencernaan (PSP). Hal ini telah dibuktikan bahwa pisang yang diberikan sebagai makanan padat dini menyebabkan kematian karena gejala PSP neonatus (bayi berumur kurang dai 1 bulan) sebesar 5,1% dengan Resiko Relatif (RR) 9,15% dan Rentang Kepercayaan (RK) 95% 1,60-42,50% (Wiryo,2001:4-5).
Makanan dini adalah makanan tambahan yang diberikan pada bayi pada usia kurang dari 6 bulan. Makanan bayi yang utama adalah ASI, karena ASI mendukung hampir semua zat gizi dengan komposisi sesuai kebutuhan bayi. Pada usia kurang dari 6 bulan pencernaan bayi belum kuat, pemberian makanan pendamping ASI harus setelah usia 6 bulan, karena jika diberikan terlalu dini akan menurunkan konsumsi ASI dan bayi mengalami gangguan saluran pencernaan/diare.

Sanitasi Rumah

Pengertian Sanitasi Rumah Sanitasi adalah suatu usaha pencegahan penyakit yang menitikberatkan kegiatan pada usaha kesehatan lingkungan hidup manusia (Widyati dan Yuliarsih, 2002:14). Menurut WHO dalam Dalimunthe (2004:1), sanitasi didefinisikan sebagai pengawasan faktor-faktor dalam lingkungan fisik manusia yang dapat menimbulkan pengaruh yang merugikan terhadap perkembangan jasmani, maka berarti pula suatu usaha untuk menurunkan jumlah penyakit manusia sedemikian rupa sehingga derajat kesehatan yang optimal dapat dicapai. Sanitasi rumah adalah pengendalian dari faktor-faktor lingkungan fisik bangunan/gedung yang digunakan oleh manusia sebagai tempat berlindung, beristirahat serta untuk melakukan kegiatan lainnya, sehingga dapat menjamin kesehatan jasmani, rohani dan keadaan sosial serta kelangsungan hidup bagi penghuninya (Prayitno 1994:2). Pengertian Rumah Menurut UU Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman dalam Widodo (2001/2002:14), rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga. Rumah adalah bangunan untuk tempat tinggal. Sebagian besar waktu kita berada di rumah, antara lain untuk beristirahat, menyiapkan makanan, mendidik anak-anak, menerima tamu dan lain-lain. Oleh sebab itu, kesehatan rumah perlu kita perhatikan (Dinkes Provinsi Jawa Timur, 1993/1994:68). Menurut WHO, perumahan yang tidak cukup dan terlalu sempit mengakibatkan pula tingginya kejadian penyakit dalam masyarakat (Entjang, 2000:105). Rumah adalah pusat kesehatan keluarga karena rumah merupakan tempat dimana anggota-anggota keluarga berkumpul dan saling berhubungan seluruh anggota keluarga serta kebiasaan hidup sehari-harinya merupakan suatu kesatuan yang berhubungan erat. Penderitaan, kebahagiaan ataupun salah seorang anggota keluarga akan mempengaruhi pula pada anggota-anggota keluarga yang lainnya. Selain itu, rumah bukan sekedar tempat istirahat melainkan juga merupakan tempat untuk mendapatkan kesenangan, kecintaan dan mendapatkan kebahagiaan. Itulah sebabnya kesehatan harus dimulai dari rumah, untuk ini rumah dan pengaturannya harus memenuhi syarat-syarat kesehatan (Entjang, 2000: 108). Konsep Rumah Sehat Beberapa pengertian rumah sehat adalah sebagai berikut : 1. Rumah sehat adalah rumah yang di dalamnya tersedianya air bersih, ada penampungan air bekas, ada tempat-tempat sampah, ada jamban, ada saluran pembuangan air hujan, halaman rumah selalu dibersihkan, pekarangan ditanami tumbuh-tumbuhan yang bermanfaat, ruangan rumah cukup luas dan tidak padat penghuninya, kamar-kamar harus berjendela, ada lubang angin serta sinar matahari dapat masuk ruangan rumah, dinding dan lantai harus kering dan tidak lembab, ada jalan keluar untuk asap dapur, di manapun tidak terdapat jentik-jentik nyamuk, kecoa dan tikus serta kandang ayam terpisah paling tidak 10 m jaraknya dari rumah (Dinkes Provinsi Jawa Timur, 1993/1994: 69). 2. Rumah sehat harus memenuhi kebutuhan fisiologis, psikologi, dapat menghindarkan penyakit dan kecelakaan (Winslow dalam Entjang, 2000:105). 3. Rumah yang sehat adalah rumah yang dapat memenuhi memenuhi kebutuhan fisik dasar dan kejiwaan dasa penghuninya, dapat melindungi penghuni dari kemungkinan penularan penyakit atau berhubungan dengan zat-zat yang membahayakan kesehatan, dan dapat melindungi penghuni dari kemungkinan terjadinya bahaya atau kecelakaan (The American Public Health Association dalam Azwar, 1995:81-83). Dari beberapa pengertian di atas dapat dipahami bahwa rumah sehat bukanlah berarti rumah yang mahal. Walaupun rumah tersebut terbuat dari bahan-bahan yang sederhana, tetapi jika dapat memenuhi kebutuhan fisiologis, psikologi dari penghuni rumah, rumah tersebut dapat menghindarkan terjadinya penyakit, yaitu dengan tersedianya air bersih yang cukup, ada tempat pembuangan sampah yang memadai, terdapat ventilasi sebagai jalan masuknya cahaya dan pertukaran udara, serta rumah tersebut dapat menghindarkan terjadinya kecelakaan misal dengan adanya bangunan yang kokoh, maka rumah tersebut dapat dikategorikan sebagai rumah yang sehat (Widi, 2004:14-15). Syarat-syarat rumah sehat menurut Dinkes Provinsi Jawa Timur (1993/1994:69) adalah : a. Harus tersedia jamban. Jamban adalah tempat untuk buang air besar. Jamban diperlukan untuk tempat buang air besar karena kotoran manusia mengandung kuman atau bibit penyakit yang dapat membahayakan kesehatan. Dengan membuang kotoran di jamban, kotoran tersebut akan mati di dalamnya, sehingga tidak membahayakan lagi (mencegah tersebarnya penyakit : muntaber, gatal-gatal, disentri, tipus, cacingan). Menurut Depkes RI (1997b:13-15), syarat-syarat jamban yang sehat adalah sebagai berikut : 1. Tidak mencemari sumber air minum, oleh karena itu jarak lubang kotoran ke sumur lebih dari 10 m dan jarak lubang kotoran lebih rendah dari sumur. 2. Tidak mencemari tanah di sekitarnya dengan cara tidak membuang kotoran di sembarang tempat. Menurut Depkes RI (1995/1996:35), kotoran manusia tidak boleh dibuang begitu saja di atas tanah atau semak-semak. 3. Tinja tidak dapat dijamah oleh serangga dan tikus. Lubang jamban cemplung harus ditutup dan rumah jamban harus terang/ada ventilasi. Menurut Depkes RI (1995/1996:35), kotoran manusia yang dibuang harus tertutup rapat, artinya agar lalat tidak bisa menghinggapinya. Oleh karena itu jamban yang sehat dapat dibuat dengan menggunakan “leher angsa” atau dilengkapi dengan tutup. 4. Tidak menimbulkan bau, nyaman dan aman digunakan oleh pemakai. Gunakan jamban leher angsa agar tidak menimbulkan bau dan tersedia air, alat pembersih lantai dan alat pembersih lubang jamban. Lantai pada jamban harus kedap air, tidak licin dan kuat. Menurut Depkes RI (1995/1996:35), jamban perlu dilengkapi dengan lubang ventilasi yang besar dan cukup tinggi. 5. Mudah dibersihkan dan tidak menimbulkan gangguan pada pemakai, oleh karena itu lantai harus miring ke arah lubang pembuangan. Menurut Depkes RI (1995/1996:35), konstruksi jamban jangan sampai menimbulkan kecelakaan, misalnya atap yang terlalu rendah, pegangan tutup lubang jamban yang tajam dan sebagainya. 6. Tidak menimbulkan pandangan yang kurang sopan sehingga harus berdinding, berpintu dan beratap. Jenis jamban yang sehat (Depkes RI,1997b:13-14) antara lain : a) Jamban leher angsa. Jamban jenis ini dibangun untuk daerah yang cukup air bersih, dilengkapi dengan alat penyekat air/penahan bau yang disebut leher angsa dan dapat dibangun dalam dua jenis yaitu leher angsa cemplung dan leher angsa dilengkapi dengan pipa. Untuk leher angsa cemplung, lubang jongkok berada persis di atas lubang galian, sedangkan leher angsa dilengkapi dengan pipa tempat jongkok tidak berada langsung di atas lubang penampungan kotoran. b) Jamban tanpa leher angsa terdiri dari jamban cemplung/cubluk dan jamban plengsengan. Jamban ini dibangun untuk daerah yang sulit memperoleh air bersih. Tempat jongkok pada jamban cemplung/cubluk berada langsung di atas lubang penampungan kotoran dilengkapi dengan tutup, sedangkan jamban plengsengan tempat jongkok tidak berada di atas lubang kotoran, melainkan kotoran dialirkan melalui pipa ke penampungan kotoran. Pembersihan jamban dilakukan secara berkala setiap selesai digunakan. Pembersihan jamban menggunakan sikat lantai, sikat bowl dan air. Sekitar jamban harus bersih dan sampah tidak berserakan. Jamban yang rusak harus segera diperbaiki b. Harus tersedia air bersih. Air bersih adalah air yang jernih, tidak berbau, tidak berasa atau tawar. Air yang bersih belum tentu sehat. Air yang sehat adalah air bersih yang sudah dimasak dan tidak mengandung bibit atau kuman penyakit. Air yang kotor dapat menyebabkan sakit dan menularkan penyakit seperti : muntaber, sakit perut, kulit, mata, dan lain-lain. Air bersih dapat diperoleh dari sumur pompa tangan, penampungan air hujan (jika sumber air yang lain tidak ada), dari mata air yang dirawat atau dari air perpipaan, dan dari sumur gali tertutup. Pengertian air minum seharusnya dibedakan dengan air bersih. Air bersih dipergunakan untuk berbagai kepentingan rumah tangga seperti : mandi, mencuci piring, dan mencuci pakaian; tetapi tidak dapat langsung diminum, karena mungkin masih mengandung bakteri patogen. Untuk Indonesia, pengertian air minum dan air bersih sering disamartikan, sehingga untuk siap diminum maka air tersebut terlebih dahulu perlu direbus sebagai jaminan bahwa air tersebut telah bebas dari kuman (Darsono, 1992:119). Menurut Depkes RI (1997a:14), sesuai dengan Permenkes nomor 416 tahun 1992, persyaratan air harus memenuhi kriteria sebagai berikut : 1. Fisik Air yang dimanfaatkan tidak berwarna, tidak berasa dan tidak berbau. Ketiga persyaratan itu tersebut harus ada pada setiap air bersih. Apabila secara fisik berasa dan berbau maka rasa atau bau tersebut harus dihilangkan, misalnya dengan penyaringan. 2. Bakteriologis Air yang dimanfaatkan tidak mengandung kuman yang membahayakan kesehatan. Pencemaran air oleh bakteri berasal dari tercampurnya sumber-sumber air oleh bahan pencemar misalnya oleh kotoran manusia, kotoran binatang maupun limbah lainnya. Agar tidak terjadi pencemaran air oleh bakteri yang mengganggu kesehatan, sumber air harus dihindari dari sumber pencemar. 3. Kimia Air yang dimanfaatkan tidak mengandung bahan kimia yang mengganggu kesehatan. Beberapa bahan kimia apabila terdapat dalam air dan dikonsumsi dalam waktu yang lama akan menimbulkan penyakit pada masyarakat yang mengkonsumsi. Air sebelum dikonsumsi sebagai air minum perlu dimasak terlebih dahulu sampai mendidih, setelah 5 menit baru diangkat dan diletakkan di tempat yang tertutup. Untuk penyajian digunakan cangkir/gelas yang telah dicuci dengan air bersih memakai sabun dan tidak boleh dicampur dengan air mentah. c. Harus tersedia tempat sampah. Sampah adalah semua benda atau produk sisa dalam bentuk padat sebagai akibat aktivitas manusia yang dianggap tidak bermanfaat dan tidak dikehendaki oleh pemiliknya atau dibuang sebagai barang tidak berguna (Depkes RI, 1997b:22). Sampah dibuang pada tempat sampah yang terbuat dari plastik atau anyaman, pada bak sampah atau lubang pembuangan sampah di kediaman sendiri. Jika sampah dibuang dengan benar, keuntungannya antara lain : menghindari timbulnya penyakit, keadaan bersih sehingga menimbulkan kebanggaan dan kepuasan batin, menciptakan keindahan, menimbulkan suasana nyaman, dan dapat menghasilkan pupuk. Gangguan atau bahaya yang dapat ditimbulkan oleh sampah : 1. Sampah dapat menimbulkan pengotoran air, mengganggu pemandangan dan menimbulkan pengotoran udara seperti bau busuk dan asap. 2. Sampah dapat menyumbat saluran air, parit atau got, sehingga dapat menyebabkan banjir, merusak jalan dan bangunan. 3. Sampah dapat menimbulkan kecelakaan seperti luka terkena paku, beling (pecahan kaca), atau dapat menyebabkan kebakaran. 4. Sampah dapat menjadi sarang lalat, tikus, nyamuk, dan kecoa yang dapat menyebarkan bibit penyakit. d. Air limbah harus diurus secara sehat. Air limbah adalah air bekas dari kamar mandi, dapur atau cucian yang dapat mengotori sumur, sungai atau danau yang selanjutnya dapat mengganggu kesehatan. Air limbah atau air bekas jelas tidak bersih dan dapat mengganggu pemandangan, menjadi sarang nyamuk yang menularkan penyakit, menimbulkan bau busuk, dan mengurangi luas tanah yang seharusnya dapat digunakan. Cara mengurus air limbah yang sehat adalah dengan menggunakan SPAL (Sistem/Sarana/Saluran Pembuangan Air Limbah). Menurut Depkes RI (1997b:37), SPAL adalah suatu bangunan yang digunakan untuk membuang air buangan di kamar mandi, tempat cuci, dapur dan lain-lain bukan dari jamban atau peturasan. SPAL yang sehat hendaknya memenuhi persyaratan sebagai berikut : 1. Tidak mencemari sumber air bersih (jarak dengan sumber air minimal 10 m). Menurut Depkes RI (1995/1996:35), air limbah tidak boleh dibuang ke sungai, danau, dan laut begitu saja kecuali telah melalui sarana pengolahan air limbah sederhana seperti bak penangkap lemak, saringan pasir dan sebagainya. Air limbah dapat ditampung dalam lubang tertutup. 2. Tidak menimbulkan genangan air yang dapat dipergunakan untuk sarang nyamuk (diberi tutup yang cukup rapat). 3. Tidak menimbulkan bau (diberi tutup yang cukup rapat). 4. Tidak menimbulkan becek atau pandangan yang tidak menyenangkan (tidak bocor sampai meluap). Ada berbagai sistem SPAL seperti kolam oksidasi, bak pemeliharaan ikan lele, langsung dibuang ke sungai dengan saluran, sumur peresapan dan lain-lain. Yang dikembangkan adalah sistem peresapan. Berbagai macam konstruksi SPAL dengan sistem peresapan hanya dibedakan dari macam material/bahan utama yang digunakan yaitu : SPAL dari bambu, dari kayu, dari drum, dari pasangan bata dan beton, dari koral (khusus rumah panggung). e. Kamar tidur harus berjendela, ada lubang angin, dinding dan lantainya tidak boleh lembab dan tidak padat penghuninya. Jendela berfungsi agar udara kotor dalam ruang tidur dapat berganti dengan udara segar dan bersih dari luar, sinar matahari dapat masuk ke dalam kamar dan dapat membunuh kuman penyakit, kamar tidak lembab, pengap, dan berbau tidak sedap, ruang menjadi terang sehingga mudah dibersihkan. Ukuran jendela sekurang-kurangnya 1/10 dari luas lantai ruangan. Menurut Berdasarkan Direktorat Higiene dan Sanitasi Depkes RI Tahun 1993 dalam Mukono (2006:156), kepadatan penghuni dikategorikan menjadi memenuhi standar jika 2 orang per 8 m2, kepadatan tinggi jika lebih dari 2 orang per 8 m2, dengan ketentuan anak <1 tahun tidak diperhitungkan dan umur 1-10 tahun dihitung setengah. Menurut Depkes RI (1997b:28), ventilasi yang baik akan menghasilkan udara yang nyaman dengan temperatur 22 C dan kelembaban 50-70%. Lubang ventilasi minimal 5% luas lantai. Dinding dan lantai yang lembab dapat menurunkan daya tahan tubuh terhadap serangan penyakit. Penyakit encok dan radang pernapasan dapat mudah kambuh karena kebiasaan tidur di ruangan yang lembab. Ruangan rumah harus cukup luas dan tidak padat penghuninya. Ruangan rumah dikatakan tidak padat penghuninya jika luas seluruh rumah di luar kamar mandi dan kakus dibagi jumlah penghuni lebih besar atau sama dengan 8 m2 per jiwa. Hal ini dilakukan agar bila salah seorang penghuninya sakit menular, maka penyakitnya itu akan mudah menular ke penghuni lain. Penyakit flu, batuk, mata, TBC, paru, kulit dan sebagainya mudah menular bila ruang tidur sempit atau tidur berdesak-desakan. f. Ada jalan keluar untuk asap dapur melalui lubang langit-langit. Ruangan yang udaranya banyak tercemar ialah dapur. Jalan keluar untuk asap dapur dapat berupa cerobong asap dan ventilasi yang khusus untuk mengeluarkan asap dapur sehingga asap tidak memenuhi ruang dapur (Soemarwoto, 2001:68). Penghawaan di dapur akan memenuhi syarat jika lubang ventilasi sama dengan 5 % luas lantai dapur. Lubang asap dapur yang tidak memenuhi persyaratan akan menyebabkan gangguan pernapasan dan mungkin akan merusak alat-alat pernapasan, dapat membuat lingkungan rumah menjadi kotor, mata menjadi pedih, mengotori dinding-dinding dan atap dapur, udara menjadi bau. Oleh karena itu buatlah jalan keluar untuk asap pada bagian atas/di atas sumber asap (Depkes RI, 1997b:30-31). g. Tidak boleh ada jentik nyamuk, kecoa dan tikus. Jentik nyamuk akan berubah menjadi nyamuk. Nyamuk mengganggu dan dapat menularkan penyakit seperti : malaria, demam berdarah, kaki gajah dan lain-lain. Kecoa dan tikus juga bisa menularkan penyakit. Menurut Depkes RI (1997b:30-32), tikus dapat mengganggu penghuninya karena membuat gaduh di atas langit-langit dan merusak barang-barang pemiliknya. Selain itu dapat pula menyebarkan penyakit pes melalui pinjalnya. Untuk menghindarkan gigitan nyamuk diupayakan dengan berbagai cara antara lain : 1. Pembersihan tempat-tempat yang memungkinkan jentik-jentik nyamuk dapat berkembang (dengan membersihkan bak air dan bak kamar mandi seminggu sekali, menutup rapat-rapat wadah penampungan air, mengganti air pada vas bunga dan tempat air minum burung seminggu sekali, timbunlah kaleng-kaleng bekas di dalam tanah, tutup lubang pada pagar bambu supaya nyamuk tidak bersarang, alirkan air hujan dan air limbah agar tidak menggenang ). 2. Pemasangan kawat kasa pada lubang ventilasi, jendela dan pintu 3. Penggunaan kelambu pada saat tidur 4. Membuat ruangan terang, bersih, tidak lembab dan pakaian tidak bergelantungan 5. Menjauhkan rumah dari kandang 6. Penggunaan bahan pestisida Sedangkan untuk mencegah bersarangnya tikus di rumah maka diupayakan agar langit-langit harus tertutup dan penempatan alat rumah tangga tidak bertumpuk sehingga ruangan mudah dibersihkan. h. Rumah dan halaman rumah harus selalu dibersihkan Sampah dapat mendatangkan penyakit. Lalat, tikus, dan kecoa sangat suka sampah. Mereka adalah binatang yang dapat menularkan penyakit, suka pada tempat yang kotor, dan suka pada makanan kita sehingga makanan kita dapat dicemari. Menurut Depkes RI (1997b:30-32), pekarangan yang tidak terpelihara dapat menularkan penyakit secara tidak langsung melalui serangga dan tikus serta gangguan binatang berbisa. Oleh karena itu rumah dan pekarangan harus dibersihkan setiap hari dan ditanami tanaman bermanfaat. i. Kandang harus terpisah dari rumah. Kandang ternak terpisah paling tidak 10 m jaraknya dari rumah. Hal ini disebabkan karena di kandang sering banyak lalat dan nyamuk. Lalat dan nyamuk menularkan penyakit. Selain itu, kotoran ternak menyebabkan bau busuk yang sangat mengganggu dan dapat menjadi sumber penyakit seperti penyakit tetanus yang membahayakan. Menurut Depkes RI (1997b:30-32), kandang ternak yang tidak memenuhi persyaratan dapat menimbulkan penyakit antara lain tetanus, antrak, malaria, kaki gajah, diare dan penyakit perut lainnya. Cara mengatasi dan menghindari dari penyakit yang mungkin timbul yaitu dengan menjauhkan sejauh mungkin kontak antara binatang dengan orang dan serangga yang bersarang di kandang ternak dengan orang serta dengan membersihkan kandang ternak setiap hari. Menurut Notoatmodjo (2003a:149-151), syarat rumah sehat antara lain : 1. Bahan bangunan yang terdiri dari : a. Lantai : ubin atau semen adalah baik, namun tidak cocok untuk kondisi ekonomi pedesaan. Lantai kayu sering terdapat pada rumah-rumah orang yang kurang mampu di pedesaan, dan ini pun mahal. Oleh karena itu, untuk lantai rumah pedesaan cukuplah tanah biasa yang dipadatkan. Syarat yang penting di sini adalah tidak berdebu pada musim kemarau dan tidak basah pada musim hujan. Untuk memperoleh lantai tanah yang padat (tidak berdebu) dapat ditempuh dengan menyiram air kemudian dipadatkan dengan benda-benda yang berat, dan dilakukan berkali-kali. Lantai yang basah dan berdebu merupakan sarang penyakit. b. Dinding : Tembok adalah baik, namun di samping mahal, tembok sebenarnya kurang cocok untuk daerah tropis, lebih-lebih bila ventilasinya tidak cukup. Dinding rumah di daerah tropis khususnya di pedesaan, lebih baik dinding atau papan sebab meskipun jendela tidak cukup, maka lubang-lubang pada dinding atau papan tersebut dapat merupakan ventilasi, dan dapat menambah penerangan alamiah. c. Atap genteng adalah umum dipakai di daerah perkotaan, maupun di pedesaan. Di samping atap genteng adalah cocok untuk daerah tropis, juga dapat terjangkau oleh masyarakat dan bahkan dapat membuatnya sendiri. Namun demikian, banyak masyarakat dapat membuatnya sendiri. Namun demikian, banyak masyarakat pedesaan yang tidak mampu untuk itu, maka atap daun rumbai atau daun kelapa pun dapat dipertahankan. Atap seng ataupun asbes tidak cocok untuk daerah pedesaan, di samping mahal juga menimbulkan panas di dalam rumah. d. Lain-lain (tiang, kaso dan reng) : Kayu untuk tiang, bambu untuk kaso dan reng adalah umum di pedesaan. Menurut pengalaman bahan-bahan ini tahan lama, tapi perlu diperhatikan bahwa lubang-lubang bambu merupakan sarang tikus yang baik. Untuk menghindari ini maka cara memotongnya harus menurut ruas-ruas bambu tersebut, apabila tidak pada ruas maka lubang pada ujung-ujung bambu yang digunakan untuk kaso tersebut akan tertutup dengan kayu. 2. Ventilasi Ventilasi rumah mempunayi banyak fungsi. Fungsi pertama adalah untuk menjaga agar aliran udara di dalam rumah tersebut tetap segar. Fungsi kedua dari ventilasi adalah untuk mebebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri, terutama bakteri patogen, karena di situ selalu tejadi aliran udara yang terus-menerus. Ada dua macam ventilasi, yakni : a) Ventilasi alamiah, dimana aliran udara di dalam ruangan tersebut secara alamiah melalui jendela, pintu, lubang angin, lubang-lubang pada dinding dan sebagainya. b) Ventilasi buatan, yaitu dengan menggunakan alat-alat khusus untuk mengalirkan udara tersebut, misalnya kipas angin dan penghisap udara. Tetapi jelas alat ini tidak cocok dengan kondisi rumah di pedesaan. 3. Cahaya Rumah yang sehat memerlukan cahaya yang cukup, tidak kurang dan tidak terlalu banyak. Kurangnya cahaya yang masuk ke dalam ruangan rumah, terutama cahaya matahari di samping kurang nyaman, juga merupakan media atau tempat yang baik untuk hidup dan berkembangnya bibit penyakit. Sebaliknya, terlalu banyak cahaya di dalam rumah akan menyebabkan silau, dan akhirnya dapat merusakkan mata. Cahaya dapat dibedakan menjadi dua, yakni : a) Cahaya alamiah, yakni matahari. Cahaya ini sangat penting karena dapat membunuh bakteri-bakteri patogen di dalam rumah, misalnya baksil TBC. b) Cahaya buatan, yaitu menggunakan sumber cahaya yang bukan alamiah, seperti lampu minyak tanah, listrik, api, dan sebagainya. 4. Luas bangunan rumah Luas lantai bangunan rumah sehat harus cukup untuk penghuni di dalamnya, artinya luas lantai bangunan tersebut harus disesuaikan dengan jumlah penghuninya. Luas bangunan yang tidak sebanding dengan jumlah penghuninya akan menyebabkan perjubelan (overcrowded). Hal ini tidak sehat, sebab di samping menyebabkan kurangnya konsumsi 02 juga bila salah satu penghuninya terkena penyakit infeksi, maka akan mudah menular kepada nggota keluarga yang lain. Luas bangunan yang optimum adalah apabila dapat menyediakan 2,5 - 3 m2 untuk tiap orang (tiap anggota keluarga). 5. Fasilitas-fasilitas di dalam rumah sehat Rumah yang sehat harus mempunyai fasilitas-fasilitas sebagai berikut : a) Penyediaan air bersih yang cukup b) Pembuangan tinja c) Pembuangan air limbah (air bekas) d) Pembuangan sampah e) Fasilitas dapur f) Ruang berkumpul keluarga Untuk rumah di pedesaan lebih cocok adanya serambi (serambi muka atau belakang). Di samping fasilitas-fasilitas tersebut, ada fasilitas lain yang perlu diadakan tersendiri untuk rumah pedesaan, yakni : g) Gudang h) Kandang ternak

Konsep Perilaku Kesehatan

Pengertian Perilaku

Perilaku menurut Skiner (1938) dalam Notoatmodjo (2005b:43-44), perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Dengan demikian perilaku manusia terjadi melalui proses : Stimulus → Organisme → Respons, sehingga teori Skiner ini disebut teori “S-O-R”. Berdasarkan teori S-O-R tersebut, perilaku manusia dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu :

a. Perilaku tertutup (Covert Behavior)
Perilaku tertutup terjadi bila respons terhadap stimulus tersebut masih belum dapat diamati orang lain (dari luar) secara jelas. Respons seseorang masih terbatas dalam bentuk perhatian, perasaan, persepsi, pengetahuan dan sikap terhadap stimulus yang bersangkutan. Bentuk “unobservable behavior” atau “covert behavior” yang dapat diukur adalah pengetahuan dan sikap. Contoh : Ibu hamil tahun pentingnya periksa hamil untuk kesehatan bayi dan dirinya sendiri (pengetahuan), kemudian ibu tersebut bertanya tetangganya di mana tempat periksa hamil yang dekat (sikap).

b. Perilaku terbuka (Overt Behavior)
Perilaku terbuka ini terjadi bila respons terhadap stimulus tersebut sudah berupa tindakan, atau praktik ini dapat diamati orang lain dari luar atau “observable behavior”. Contoh : seorang ibu hamil memeriksakan kehamilannya ke Puskesmas atau Bidan praktik.
Secara terperinci, perilaku manusia sebenarnya merupakan refleksi dari berbagai gejala kejiwaan seperti pengetahuan, keinginan, kehendak, minat, motivasi, persepsi, sikap, dan sebagainya. Gejala kejiwaan tersebut ditentukan atau dipengaruhi oleh berbagai faktor lain, diantaranya adalah faktor pengalaman, keyakinan, sarana fisik, sosial budaya masyarakat, dan sebagainya (Notoatmodjo, 2003b:163). Sedangkan yang menyebabkan seseorang itu berperilaku tertentu adalah karena adanya pengetahuan, kepercayaan, sikap, orang penting sebagai referensi, sumber-sumber daya (resources) serta kebudayaan (Notoatmodjo, 2003b:169).
Menurut Skiner (1938) yang dikutip oleh Notoatmodjo (2003b:117-118), perilaku kesehatan adalah suatu respon seseorang (organisme) terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan, minuman, serta lingkungan. Salah satu klasifikasi dari perilaku kesehatan adalah perilaku kesehatan lingkungan yang dapat diartikan sebagai bagaimana seseorang merespons lingkungan, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial budaya dan sebagainya, sehingga lingkungan tersebut tidak mempengaruhi kesehatannya. Dengan perkataan lain, bagaimana seseorang mengelola lingkungannya sehingga tidak mengganggu kesehatannya sendiri, keluarga, atau masyarakatnya. Sedangkan menurut Sarwono (1997:1), perilaku kesehatan dapat dirumuskan sebagai segala bentuk pengalaman dan interaksi individu dengan lingkungannya, khususnya yang menyangkut pengetahuan dan sikap tentang kesehatan, serta tindakannya yang berhubungan dengan kesehatan.
Pengukuran perilaku dapat dilakukan secara tidak langsung yakni dengan wawancara terhadap kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan beberapa jam, hari, atau bulan yang lalu (recall). Pengukuran juga dapat dilakukan secara langsung, yakni dengan mengobservasi tindakan atau kegiatan responden (Notoatmodjo, 2003b:128). Pengukuran perilaku paling baik adalah secara langsung, yaitu mengamati tindakan dari subjek dalam rangka memelihara kesehatannya (Notoatmodjo, 2005b:59).

Teori Determinan Perilaku

Menurut Snehandu B. Kar yang dikutip oleh Notoatmodjo (2003b:166), perilaku merupakan fungsi dari :
a. niat seseorang untuk bertindak sehubungan dengan kesehatan atau perawatan kesehatannya (behavior intention)
b. dukungan sosial dari masyarakat sekitarnya (social-support)
c. adanya atau tidak adanya informasi tentang kesehatan atau fasilitas kesehatan (accessebility of information)
d. otonomi pribadi yang bersangkutan dalam hal ini mengambil tindakan atau keputusa (personal autonomy)
e. situasi yang memungkinkan untuk bertindak atau tidak bertindak (action situation)
Tim Kerja dari WHO yang dikutip oleh Notoatmodjo (2003b:164) menganalisis bahwa yang menyebabkan seseorang berperilaku tertentu adalah karena adanya alasan pokok. Pemikiran dan perasaan (thoughts dan feeling), yakni dalam bentuk pengetahuan, persepsi, sikap, kepercayaan-kepercayaan, dan penilaian-penilaian seseorang terhadap objek (dalam hal ini adalah objek kesehatan). Banyak alasan seseorang untuk berperilaku. Oleh sebab itu perilaku yang sama diantara beberapa orang dapat disebabkan oleh sebab atau latar belakang yang berbeda.

Disimpulkan bahwa perilaku kesehatan seseorang atau masyarakat ditentukan oleh pemikiran dan perasaan seseorang, adanya orang lain yang dijadikan referensi, dan sumber-sumber atau fasilitas-fasilitas yang dapat mendukung perilaku dan kebudayaan masyarakat.

Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Perilaku

1. Pengetahuan
Pengetahuan yang dimiliki seseorang memainkan peranan penting di dalam pekerjaan/jabatannya, cara-cara penerimaan dan penyesuaian sosialnya, pergaulannya, dan sebagainya (Purwanto, 2003:159). Pengetahuan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba (Notoatmodjo, 2003b:121). Pengetahuan yang didapat dari hasil belajar kepada lingkungan selama perjalanan hidupnya akan mendasari seseorang untuk dapat menginterpretasikan sesuatu objek dan dijadikan acuan baginya untuk bertindak terhadap objek tersebut, yang terlihat sebagai perilaku sehari-hari (Munir, 1997:8).

2. Kepercayaan
Kepercayaan secara umum bermaksud akan benarnya terhadap perkara dan merupakan satu keyakinan akan sesuatu (Anonim). Kepercayaan sering atau diperoleh dari orang tua, kakek atau nenek. Seseorang menerima kepercayaan itu berdasarkan keyakinan dan tanpa adanya pembuktian terlebih dahulu. Misalnya, wanita hamil tidak boleh makan telur agar tidak kesulitan waktu melahirkan (Notoatmodjo, 2003b:167).

3. Sikap
Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap tidak dapat secara langsung dilihat, tetapi hanya ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku tertutup. Newcomb, seorang ahli psikologis sosial menyatakan bahwa sikap itu merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku (Notoatmodjo, 2003b:124-125). Secara umum sikap dapat dirumuskan sebagai kecenderungan untuk berespons (secara positif atau negatif) terhadap orang, obyek atau situasi tertentu (Sarwono, 1997:2).
Sikap tidaklah sama dengan perilaku dan perilaku tidaklah mencerminkan sikap seseorang, sebab seringkali terjadi bahwa seseorang memperlihatkan tindakan yang bertentangan dengan sikapnya. Sikap seseorang dapat berubah dengan diperolehnya tambahan informasi tentang obyek tersebut melalui persuasi serta tekanan dari kelompok sosialnya (Sarwono, 1997:2).

4. Orang penting sebagai referensi
Perilaku orang, lebih-lebih perilaku anak kecil, lebih banyak dipengaruhi oleh orang-orang yang dianggap penting. Apabila seseorang itu penting untuknya, maka apa yang ia katakan atau perbuat cenderung untuk dicontoh. Untuk anak-anak sekolah misalnya, gurulah yang menjadi panutan perilaku mereka. Orang-orang yang dianggap penting sering disebut kelompok referensi (reference group), antara lain guru, alim ulama, kepala adat (suku), kepala desa, dan sebagainya (Notoatmodjo, 2003:168-169).

5. Sumber-sumber daya (resources)
Sumber daya di sini mencakup fasilitas-fasilitas, uang, tenaga, waktu, dan sebagainya. Semua itu berpengaruh terhadap perilaku seseorang atau kelompok masyarakat. Pengaruh sumber-sumber daya terhadap perilaku dapat bersifat positif maupun negatif. Misalnya, pelayanan Puskesmas dapat berpengaruh positif terhadap perilaku penggunaan Puskesmas tetapi juga dapat berpengaruh sebaliknya (Notoatmodjo, 2003b:169).

6. Kebudayaan
Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Herkovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain (Anonim). Kebudayaan adalah seluruh sistem gagasan dan rasa, tindakan, serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat, yang dijadikan miliknya belajar (Koentjaraningrat, 2003:72).
Perilaku normal, kebiasaan, nilai-nilai, dan penggunaan sumber-sumber di dalam suatu masyarakat akan menghasilkan pola hidup (way oleh of life) yang pada umumnya disebut kebudayaan. Kebudayaan ini terbentuk dalam waktu yang lama sebagai akibat dari kehidupan suatu masyarakat bersama. Kebudayaan selalu berubah, baik lambat ataupun cepat, sesuai dengan peradaban umat manusia. (Notoatmodjo, 2003b:169). Sistem-sistem nilai dan keyakinan yang berkembang di dalam masyarakat-masyarakat tertentu, ditinjau dari sudut kebudayaan, memisahkan masyarakat-masyarakat itu dari masyarakat-masyarakat yang lain dan dari itu berkembang corak nilai-nilai dan keyakinan yang berbeda-beda (Ahmadi, 2004:201).

Praktek atau Tindakan (Practice)

Menurut Notoatmodjo (2003b:127), suatu sikap belum tentu terwujud dalam suatu tindakan (overt behavior). Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain fasilitas. Sikap ibu yang positif terhadap imunisasi harus mendapat konfirmasi dari suaminya, dan ada fasilitas imunisasi yang mudah dicapai, agar ibu tersebut mengimunisasikan anaknya. Di samping faktor fasilitas, juga diperlukan faktor dukungan (support) dari pihak lain, misalnya dari suami atau istri, orang tua atau mertua, dan lain-lain.
Menurut Notoatmodjo (2003b:130), setelah seseorang mengetahui stimulus objek kesehatan, kemudian mengadakan penilaian atau pendapat terhadap apa yang diketahui, proses selanjutnya diharapkan ia akan melaksanakan atau mempraktekkan apa yang diketahui atau disikapinya (dinilai baik). Inilah yang disebut praktek (practice) kesehatan, atau dapat juga dikatakan perilaku kesehatan (overt behavior). Oleh sebab itu indikator praktek kesehatan ini mencakup hal-hal tersebut di atas, yakni :

a. Tindakan (praktek) sehubungan dengan penyakit
Tindakan atas perilaku ini mencakup : a) pencegahan penyakit, mengimunisasikan anaknya, melakukan pengurasan bak mandi seminggu sekali, menggunakan masker pada waktu kerja di tempat yang berdebu, dan sebagainya, dan b) penyembuhan penyakit, misalnya minum obat sesuai petunjuk dokter, melakukan anjuran-anjuran dokter, berobat ke fasilitas pelayanan kesehatan yang tepat, dan sebagainya.

b. Tindakan (praktek) pemeliharaan dan peningkatan kesehatan
Tindakan atau perilaku ini mencakup antara lain : mengkonsumsi makan dengan gizi seimbang, melakukan olahraga secara teratur, tidak merokok, tidak minum minuman keras dan narkoba, dan sebagainya.

c. Tindakan (praktek) kesehatan lingkungan
Perilaku ini antara lain mencakup : membuang air besar di jamban (WC), membuang sampah di tempat sampah, menggunakan air bersih untuk mandi, cuci, masak, dan sebagainya.

Sabtu, 15 Mei 2010

ANALISIS UJI F

Analisis ini digunakan untuk memgetahui pengaruh signifikan varibel bebas secara simultan, terhadap variabel terikat. ( J. Suprato, 1993:265 ).






Di mana :
F = Uji F
R² = koefisien determinasi
n = Jumlah responden
k = Jumlah Varibel

Kriteria pengambilan keputusan :
1. Perbandingan F hitung dengan t table
a. JIka F hitung <> F table, maka H0 ditolak
2. Berdasarkan probabilitas
a. Jika probabilitas > 0,05, maka H0 diterima.
b. Jika probabilitas < 0,05, maka H0 ditolak.
ANALISIS UJI T ( T – TEST )

Uji t digunakan untuk mengetahui sejauh mana pengaruh suatu variable independent dengan variabel dependennya, dengan asumsi bahwa variabel independent lainnya dianggap konstan.

Analisis ini digunakan untuk mengetahui pengaruhi variabel bebas secara partial terhadap variable terikat. ( J. Supranto, 1993; 251 ).

thitung = Bj / Sbj

Dimana :
Bj = Nilai koefisien regresi masing-masing variabel bebas
Sbj = Standar error Bj

Kriteria penguijian :
1. Perbandingan t hitung dengan t table
a. thitung <> ttabel : berarti H0 ditolak

2. Berdasarkan probabilitas
a. Jika probabilitas > 0,05, maka H0 diterima
b. Jika probabilitas < 0,05, maka H0 ditolak

AUDIT DELAY

Audit delay adalah lamanya waktu penyelesaian audit yang diukur dari tanggal penutupan tahun buku hingga tanggal diterbitkannya laporan audit (Safitri, 2002). Perusahaan publik harus mempublikasikan laporan keuangan auditnnya dalam suatu periode tertentu setelah akhir tahun penutupan buku perusahaan. Bapepam menetapkan peraturan bahwa perusahaan publik harus harus menyerahkan laporan keuangan tahunannya selambat-lambatnya pada akhir bulan ketiga setelah tanggal laporan keuangan tahunan (Bapepam, 2009)

AUDITING

Auditing adalah pengumpulan dan pengevaluasian bahan bukti tentang informasi yang dapat diukur mengenai suatu satuan usaha yang dilakukan seorang yang kompeten dan independen untuk dapat menentukan dan melaporkan kesesuaian infomasi yang dimaksud dengan kriteria-kriteria yang telah ditetapkan (Arens dan Loebbecke, 1993: 2)

Berdasarkan objek dan tujuannya, auditing pada umumnya dibedakan menjadi: (Nasir, 2005: 39)
1. General Audit atau audit atas laporan keuangan, yaitu pemeriksaan yang objektif yang dilakukan oleh auditor independen terhadap laporan keuangan perusahaan atau badan usaha dengan tujuan untuk menentukan apakah laporan keuangan tersebut telah disusun dan disajikan sesuai dengan prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku umum atau SAK. Dalam pelaksanaan pemeriksaan, auditor independen harus menggunakan Standar Profesional Auditor Independen (SPAP) dan kode etik profesi.
2. Operasional Audit, yaitu pemeriksaan objektif yang dilakukan oleh pihak internal auditor perusahaan atau pihak lain yang direkrut oleh perusahaan yang bersangkutan dengan tujuan untuk mengetahui apakah kegiatan operasional perusahaan telah berjalan secara efektif, efisien, dan sejalan dengan kebijakan manajemen atau direksi yang telah ditetapkan.
3. Compliance Audit, yaitu pemeriksaan objektif yang dilakukan oleh pihak intern perusahaan atau pihak lain yang di hearing oleh perusahaan dengan tujuan untuk mengetahui apakah kegiatan perusahaan tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku dalam hal ini peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia.

LAPORAN KEUANGAN

Laporan keuangan merupakan bagian dari proses pelaporan keuangan. Laporan keuangan yang lengkap terdiri atas neraca, laporan laba rugi, laporan perubahan ekuitas, laporan arus kas, dan catatan atas laporan (Ikatan Akuntan Indonesia, 2007:1.2)

Tujuan laporan keuangan adalah menyediakan informasi yang menyangkut posisi keuangan, kinerja, dan arus kas perusahaan yang bermanfaat bagi sejumlah besar kalangan pengguna laporan dalam pengambilan keputusan ekonomi. Laporan keuangan juga menunjukkan pertanggungjawaban (stewardship) manajemen atas penggunaan sumber daya yang dipercayakan kepada mereka. Penyajian laporan keuangan meliputi asset, kewajiban, ekuitas, pendapatan dan beban, termasuk keuntungan dan kerugian, dan arus kas (Ikatan Akuntan Indonesia, 2007: 1.2)

Menurut Ikatan Akuntan Indonesia (2007: 5), karakteristik kualitatif dalam laporan keuangan meliputi : dapat dipahami, relevan, keandalan, dan dapat diperbandingkan.

JENIS PENDAPAT AUDITOR

Berdasarkan opininya, jenis pendapat laporan audit dapat dibagi menjadi 4 jenis, yaitu Unqualified Opinion (pendapat wajar tanpa pengecualian), Qualified Opinion (pendapat wajar dengan pengecualian), Disclaimer Opinion (menolak memberikan pendapat), dan Adverse Opinion (pendapat tidak wajar).

Jenis pendapat auditor atau opini auditor juga dianggap mempengaruhi audit delay. Carslaw dan Kaplan, 1991 ( dalam Prabandari dan Rustiana 2007: 31) menemukan adanya hbungan negative antara opini audit dengan audit delay. Pada perusahaan yang menerima jenis pendapat auditor qualified opinion akan menunjukkan audit delay yang lebih panjang dibandingkan dengan perusahaan yang menerima pendapat unqualified opinion. Menurut Elliot, 1982 ( dalam Prabandari dan Rustiana 2007: 31) hal ini disebabkan karena proses pemberian opini auditor melibatkan negosiasi dengan klien, konsultasi dengan partner audit yang lebih senior atau staf teknis lainnya dan perluasan lingkup audit.

METODE ANALISIS DATA

1. Metode Kualitatif
Metode ini dipakai untuk mengelola data yang tidak dapat diukur dengan angka yang diperoleh dari hasil pengamatan dan wawancara. ( Sumandi Suryabrata )
2. Metode Kuantitatif
Metode Kuantitatif adalah metode yang dipakai untuk data-data yang dinyatakan dalam angka, biasanya untuk data yang bisa diukur dengan ukuran yang telah dinyatakan dalam bentuk standar. ( Sumandi Suryabrata )

METODE PENGUMPULAN DATA

Jenis data

1. Data primer
Adalah suatu data yang diperoleh secara lansung dari obyek penelitian yaitu dibutuhkan sebagai bahan masukan yang nantinya akan di analisis lebih lanjut, data ini diperoleh dengan cara wawancara, observasi dan quisioner.
2. Data Sekunder
Adalah data yang sudah diolah atau data yang diperoleh dari sumber lain, data tersebut diperoleh dari literatur yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.

Teknik Pengumpulan data

1. Interview
Yaitu pengumpulan data dengan cara mengadakan tanya jawab secara lansung
2. Kuesioner
yaitu pengumpulan data dengan cara menggunakan pedoman berupa angket
3. Observasi
Yaitu pengumpulan data dengan cara mengadakan pengamatan dan pencatatan secara sistematis terhadap gejala fenomena yang sedang diteliti.
4. Studi kepustakaan
Yaitu metode penelitian yng dilakukan dengan cara membaca literature-literatur atau buku-buku yang behubungan dengan masalah yang terjadi.

Motivasi

Menurut Gerungan ( 1993) motivasi adalah sesuatu yang menimbulkan semangat atau dorongan kerja. Menurut Hezbert yang di kutip oleh Ahmad Sudrajat MPd motivasi adalah kekuatan (energi) seseorang yang dapat menimbulkan tingkat persistensi dan entusiamenya dalam melaksanakan suatu kegiatan baik yang bersumber dari dalam diri individu itu sendiri maupun dari luar individu. seberapa kuat motivasi yang dimiliki oleh individu akan banyak menentukan terhadap kualitas perilaku yang ditampilkannya, baik dalam kontek belajar, bekerja maupun dalam kehidupan lainnya. Menurut Victor H. Vroom, dalam bukunya yang berjudul " Work and Motivation" mengemukakan suatu teori yang dinamakan"teori harapan''. Menurut teori ini motivasi merupakan akibat dari suatu hal yang ingin dicapai oleh seseorang dan perkiraan yang bersangkutan bahwa tindakannya mengarah pada hal yang diinginkannya itu. Artinya apabilah seseorang sangat mengiginkan sesuatu, dan jalan tampaknya terbuka untuk memperolehnya, yang bersangkutan akan berupaya untuk mendapatkannya, sebaliknya jika harapan untuk mendapatkan sesuatu itu tipis maka motivasi untuk berupaya agar mendapatkan sesuatu tersebut rendah. Macam-Macam Motivasi 1. Menurut Heidjrachman (1990) motivasi di bagi menjadi dua yaitu: a. Motivasi Positif Adalah proses untuk mencoba mempengaruhi orang lain agar menjalankan sesuatu yang kita inginkan dengan cara memberikan kemungkinan untuk mendapatkan hadiah. b. Motivasi Negatif Adalah proses untuk mempengaruhi orang lain agar mau melakukan sesuatu yang kita inginkan tetapi teknik dasar yang kita gunakan adalah kekuatan. 2. Menurut Terori Hezbert yang di kutip oleh Akhmad Sudrajat MPd motivasi di bagi menjadi dua bagian yaitu : a. Motivasi Intinsik yaitu kekuatan seseorang yang menimbulkan tingkat presistensi dan entusiasenya dalam melaksanakan kegiatan yang bersumber dari dalam individu itu sendiri. b. Motivasi Ekstrinsik yaitu kekuatan seseorang yang menimbulkan tingkat preistensi dan eutensisnya dalam melaksanakan kegiatan yang bersumber dari luar individu. Teori-teori Motivasi 1. Teori Abraham H. Moslow ( Teori Kebutuhan ) Teori motivasi yang dikembangkan Abraham H. Moslow pada intinya berkisar pada pendapat bahwa manusia mempunyai lima tingkat atau hirarki kebutuhan yaitu: physiological needs, safety needs, love needs, eteem needs, dan self actualization needs. Teori Abraham H. Molow itu kemudian dikutip oleh Indriyo Gito Sudirmo, ( 1997) yaitu dalam sepanjang hidupnya manusia, setiap manusia itu pasti bekerja karena itu kebutuhan manusia itu dapat digolongkan menjadi empat tahapan yaitu : a. Kebutuhan Biologis yaitu kebututuhan akan rasa lapar, haus dan sex. b. Kebutuhan keamanan yaitu kebutuhan akan rasa aman sewaktu bekerja. c. Kebutuhan sosial. Kebutuhan ini memang sudah menjadi kuadrat manusia yaitu manusia adalah makluk sosial. Oleh karena itu setiap individu membutuhkan waktu untuk berkumpul dan bergaul, memnbina persahabatan dan saling mencintai antara satu sama lain. d. Kebutuhan harga diri, kebutuhan ini bersifat individual yaitu setiap orang ingin dihargai dan dihormati oleh orang lain.

Sampel

Menurut Arikanto (2003), sampel adalah bagian dari populasi (sebagian atau wakil populasi yang di teliti). Sampel penelitian adalah sebagian dari populasi yang diambil sebagai sumber data dan dapat mewakili seluruh populasi. Sugiyono (2004) memberikan pengertian bahwa sampel adalah sebagian dari jumlah karakteristik yang di miliki oleh populasi. Teknik dalam pengambilan sampel yaitu : 1. Probality sampling : teknik sampling untuk memberikan peluang yang sama pada setiap anggota populasi untuk dipilih menjadi anggota sample. 2. Non – probality sampling : teknik sampling yang tidak memberikan kesempatan (peluang) pada setiap anggota populasi untuk di jadikan anggota sampel

Segmen Geografis Emiten

Pengertian segmen geografis menurut Ikatan Akuntan Indonesia (2007) adalah komponen perusahaan yang dapat dibedakan dalam menghasilkan produk atau jasa pada lingkungan (wilayah) ekonomi tertentu dan komponen itu memiliki resiko dan imbalan yang berbeda dengan resiko dan imbalan pada komponen yang beroperasi pada lingkungan (wilayah) ekonomi lain.

Faktor-faktor yang dipertimbangkan dalam identifikasi segmen geografis (Ikatan Akuntan Indonesia, 2007) :

  1. Kesamaan kondisi ekonomi dan politik
  2. Hubungan antara operasi dalam wilayah geografis berbeda
  3. Kedekatan geografis operasi
  4. Risiko khusus yang terdapat dalam operasi di wilayah tertentu
  5. Regulasi pengendalian mata uang
  6. Resiko mata uang

SEMANGAT KERJA

Moekjijat ( 1997 ) mengatakan semangat kerja menggambarkan perasaan berhubungan dengan jiwa, semangat kelompok, kegembiraan dan kegiatan. Menurut Gondokusumo ( 1995 ) semangat kerja adalah refleksi dari sikap pribadi atau sikap kelompok terhadap kerja dan kerjasama. Semangat kerja berarti sikap individu dan kelompok terhadap seluruh lingkungan kerja dan terhadap pekerjaan. Semangat kerja sangat penting bagi organisai karena : 1. Semangat kerja tinggi tentu akan mengurangi tingkat absensi atau tidak bekerja karena malas. 2. Dengan semangat kerja yang tinggi dari karyawan maka pekerjaan yang diberikan atau ditugaskan kepadanya akan diselesaikan dalam waktu yang lebih cepat. 3. Dengan semangat kerja yang tinggi pihak organisai memperoleh keuntungan dari sudut kecilnya angka kerusakan. 4. Semangat kerja yang tinggi otomatis membuat karyawan akan merasa senag bekerja sehingga kecil kemungkinan karyawan akan pindah bekerja di tempat lain. 5. Semangat kerja yang tinggi akan mengurangi angka kecelakaan karena karyawan akan sangat berhati-hati dalam bekerja. Faktor yang mempengaruhi semangat kerja 1. Gellerman ( 1994 ), menyatakan moral kerja meliputi tiga bidang yaitu a. Menyangkut kepuasan di luar pekerjaan seperti; pendapatan dan rasa aman. b. Menyangkut kepuasan terhadap pekerjaan yaitu minat kerja, peluang untuk maju dan prestasi dalam organiasi. c. Menyangkut kepuasan pribadi dan rasa aman bangga atas profesinya. 2. Lateiner (1985) mengatakan bahwa faktor yang mempengaruhi semangat kerja adalah kebanggaan pekerja atas pekerjaannya, perasaan telah diperlakukan dengan baik, kemampuan untuk bekerja dengan kawan kerja, dan keadaan akan tanggung jawab terhadap pekerjaan. 3. Nanawi (1990) mengatakan bahwa faktor yang mempengaruhi semangat kerja adalah minat atau perhatian terhadap pekerjaan, upah atau gaji, status sosial berdasarkan jabatan, tujuan yang mulia dalam pengabdian. 4. Anoraga (1998) mengatakan bahwa faktor yang mempengaruhi semangat kerja karyawan adalah keamanan kerja, kesempatan untuk mendapatkan kemajuan, lingkungan kerja, rekan kerja yang baik dan gaji atau pendapatan. 5. Zainum (2004) mengatakan bahwa faktor yang mempengaruhi semangat kerja adalah hubungan yang harmonis, kepuasan terhadap pekerjaan, suasana dan iklim kerja, kepuasan ekonomi dan adanya ketenangan jiwa. Upaya membina semangat kerja Membina semangat kerja karyawan perlu dilakukan secara terus menerus agar mempunyai semangat kerja yang tinggi : 1. Nitisemito (1996) untuk meningkatkan semangat kerja karyawan dilakukan dengan pemberian gaji yang cukup, memperhatikan kebutuhan rohani, memperhatikan harga diri, memberikan kesempatan untuk maju dan memberikan rasa aman untuk masa depan. 2. Sastrahadiwiryo (2002) mengatakan bahwa cara yang ditempuh untuk meningkatkan semangat kerja adalah memberikan kompensasi kepada tenaga kerja dalam porsi yang wajar, menciptakan kondisi kerja, penempatan tenaga kerja pada posisi yang tepat dan memperhatikan hari esok para tenaga kerja. 3. Zainum (2004) beberapa usaha positif dalam rangka menyelengarakan motivasi untuk meningkatkan semangat kerja yaitu orientasi, supervise, partisipasi, komunikasi, delegasi, kompetesi, dan integrasi.

SOLVABILITAS

Solvabilitas merupakan rasio yang mengukur seberapa jauh perusahaan menggunakan hutang. Debt to Equity Ratio (DER) didefinisikan sebagai salah satu rasio solvabilitas yang mengukur kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban keuangannya (Husnan, 1998: 560). Debt to Equity Ratio digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban jangka pendek maupun kewajiban jangka panjang yang diukur dalam prosentase (Supriyati dan Rolinda, 2007: 113) Semakin tinggi prosentase Debt to Equity Ratio, maka semakin tinggi pula resiko keuangan yang akan ditanggung bagi kreditur maupun pemegang saham. Semakin besar hutang jangka panjang yang dimiliki perusahaan tersebut akan mendapat tekanan dari pihak kreditur untuk segera melaporkan laporan keuangan auditannya. Besarnya solvabilitas yang dihitung dengan Debt to Equity Ratio (DER) merupakan rasio untuk mengukur kemempuan perusahaan membayar seluruh hutang atau kewajiban yang dimiliki perusahaan. DER diukur dari besarnya total kewajiban perusahaan yang dibagi dengan total ekuitas pemegang saham pada akhir tahun buku perusahaan sample (Ulfana, 2005: 20)

TINGKAT PROFITABILITAS

Profitabilitas adalah kemampuan perusahaan untuk menghasilkan keuntungan-keuntungan pada tingkat penjualan, asset dan modal saham tertentu (Namduh, 2003 dalam Almilia dan Setiady 2006: 6).

Tingkat profitabilitas menunjukkan kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba dengan memanfaatkan aktiva yang dimiliki perusahaan. Variabel tingkat profitabilitas diukur dengan menggunakan rasio Return on Investmen (ROI) yaitu besarnya laba bersih yang diperoleh perusahaan dibagi dengan total aktiva yang dimiliki perusahaan sample pada akhir tahun buku (Racmawati, 2006: 19)

Rasio profitabilitas memberikan gambaran tentang tingkat efektifitas pengelolaan perusahaan (Weston, 1994: 65).

Menurut Supriyati dan Rolinda (2007 : 114) salah satu cara untuk menilai kinerja suatu perusahaan yaitu dengan melihat tingkat profitabilitasnya, tingkat profitabilitas perusahaan diukur dari net profit (laba/rugi besih sesudah pajak). Perusahaan yang mengumumkan rugi, artinya profitabilitas rendah, maka akan membawa reaksi negatif dari pasar dan turunnya penilaian atas kinerja perusahaannya. Sedang perusahaan yang mengumumkan labanya akan berdampak positif terhadap penilaian pihak lain atas kinerja perusahaannya

UJI HETEROKEDASTISITAS

UJI HETEROKEDASTISITAS

Uji heterokedastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain (Ghozali, 2005: 105).

Pengujian heterokedastisitas dalam penelitian dilakukan dengan menggunakan metode Glejser yaitu meregresikan variabel-variabel independent dengan nilai ansolute residual (kesalahan) dari persamaan regresi awal. Jika variabel-variable independent yang diujikan dalam penelitian mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap nilai absolute residual, maka dapat disimpulkan telah terjadi heterokedastisitas. Apabila nilai sig lebih besar dari 0,05 (Sig > 0,05) maka model regresi terbebas dari masalah heterokedastisitas, namun sebaliknya apabila nilai Sig kurang dari 0,05 (Sig < 0,05) maka model regresi mengandung heterokedastisitas.

UJI MUTIKOLINEARITAS

Uji multikolinearitas bertujuan untuk menguji apakah pada model regresi ditemukan adanya korelasi antar variabel independent (Ghozali, 2005: 91).

Menurut Sulaiman (2002: 139) multikolinearitas berarti adanya hubungan linier yang sempurna atau pasti diantara beberapa atau semua variabel independent dari model regresi.

Teknik yang digunakan untuk mendeteksi adanya gejala multikolinearitas adalah dengan melihat nilai tolerance dan lawannya yaitu Variance Inflation Factor (VIF). Nilai tolerance yang rendah sama dengan nilai VIF yang tinggi karena VIF=1/tolerance. Dikatakan bebas multikol apabila tolerance > 0,1 dan VIF < 10, sebaliknya jika nilai tolerance < 0,1 atau sama dengan VIF > 10 maka menunjukkan adanya multikolinearitas

UKURAN AUDITOR (KAP)

UKURAN AUDITOR (KAP)

Menurut Supriyati dan Rolinda (2007: 114) KAP besar yaitu the big four cenderung menyajikan audit yang lebih baik dibandingkan dengan KAP non the big four karena mereka memiliki nama baik yang dipertaruhkan. KAP the big four umumnya mempunyai sumber daya yang lebih besar sehingga dapat melakukan audit lebih cepat dan efisien.

Kategori KAP the big four di Indonesia : (Supriyati dan Rolinda, 2007: 11)
1. KAP Price Waterhouse Coopers, yang bekerjasama dengan KAP Drs.Hadi Susanto dan rekan.
2. KAP KPMG (Klynveld Peat Marwik Goerdeler), yang bekerjasama dengan KAP Sidharta-Sidharta dan Wijaya.
3. KAP Ernst dan Young, yang bekerjasama dengan KAP Drs.Sarwoko dan Sanjoyo.
4. KAP Deloitte Touche Thomatsu, yang bekerjasama dengan KAP Drs.Hans Tuanokata.

UMUR EMITEN

UMUR EMITEN

Rachmaf Saleh dalam penelitian Almilia da Setiabudy (2006: 9) mengungkapkan bahwa perusahaan dengan umur makin tua, cenderung untuk lebih terampil dalam pengumpulan, pemrosesan dan menghasilkan informasi ketika diperlukan karena perusahaan telah memperoleh pengalaman yang cukup. Selain itu perusahaan telah memiliki banyak pengalaman mengenai berbagai masalah yang berkaitan dengan pengolahan informasi dan cara mengatasinya. Dalam hal ini perusahaan memiliki fleksibilitas dalam menangani perubahan yang akan terjadi sehingga perusahaan mampu menyajikan laporan keuangan lebih tepat waktu. Jadi dapat dikatakan bahwa umur perusahaan memiliki hubungan negatif terhadap audit delay.

ANALISIS REGRESI LINIER BERGANDA

ANALISIS REGRESI LINIER BERGANDA

Untuk mengetahui pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat baik secara simultan maupun secara partial. Yaitu sebagai berikut. Djarwanto dan Pagestu, ( 1990;284 ).

Y = a + b1X1+ b2X2 + b3X3 + ….. + bxXx + E

Dimana :
Y = Variabel terikat
a = Konstanta
b = Koefisien regresi
X1 = variabel bebas 1
X2 = variabel bebas 2
X3 = variabel bebas 3
Xx = variabel bebas x

Untuk menghindari terjadinya bias, data yang digunakan harus berdistribusi normal. Pengujian normalitas sampel penelitian ini dideteksi dengan melihat penyebaran data (titik) pada sumbu siagonal grafik normal P-Plot of Regression Standardized Residual. Data dikatakan mampunyai distribusi normal jika data menyebar di sekitar garis diagonal dan mengikuti arah garis diagonal dari grafik normal P-Plot of Regression Standardized Residual (Santoso, 2005: 214)

Sabtu, 08 Mei 2010

Ketepatan Jadwal Pemberian Imunisasi Rutin Pada Bayi

Vaksin harus diberikan pada umur yang tepat dengan cara pemberian dan penyimpanan rantai dingin yang benar agar penerima vaksin benar-benar terlindungi dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi tersebut secara optimal (Nelson, 2000:200). Menurut Hetty (2002:3), bila imunisasi dasar dilaksanakan dengan lengkap dan teratur, maka imunisasi dapat mengurangi angka kesakitan dan kematian balita hingga sekitar 80-95%. Pengertian teratur dalam hal ini yaitu teratur dalam hal mentaati jadwal dan jumlah frekuensi imunisasi, sedangkan yang dimaksud imunisasi dasar lengkap adalah telah mendapat semua jenis imunisasi dasar pada waktu anak berusia <11bulan.
Berikut adalah jadwal pemberian imunisasi rutin pada bayi yang dilaksanakan dalam Program Imunisasi:

Tabel 2.1 Jadwal Pemberian Imunisasi Rutin Pada Bayi Dengan Menggunakan Vaksin DPT dan HB Terpisah, Menurut Tempat Lahir Bayi












* : atau tempat pelayanan lain
** : atau Posyandu
Sumber: Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1059/Menkes/SK/IX/2004

Tabel 2.2 Jadwal Pemberian Imunisasi Rutin Pada Bayi Dengan Menggunakan Vaksin DPT/HB Kombo, Menurut Tempat Lahir Bayi












* : atau tempat pelayanan lain
** : atau Posyandu
Sumber: Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1059/Menkes/SK/IX/2004

a. Jadwal Pemberian Imunisasi BCG
Dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1059/Menkes/SK/IX/2004 disebutkan bahwa pemberian imunisasi BCG bisa dilaksanakan sejak bayi baru lahir. Menurut penelitian Ibrahim (2000), pemberian imunisasi BCG hendaknya dilaksanakan sesegera mungkin dan diberikan sebelum bayi berusia 2 bulan, karena di Indonesia penyakit TBC masih sangat tinggi. Menurut berbagai studi (dalam Achmadi, 2006:53) apabila seseorang tinggal bersama penderita TBC paru aktif untuk beberapa waktu lamanya, maka kemungkinan terinfeksi atau tertular adalah sebesar 25-50%, dan penyakit ini paling cepat menginfeksi anak-anak. Oleh karena itu, pemberian imunisasi BCG diberikan segera untuk mencegah bayi tertular penyakit TBC.

b. Jadwal Pemberian Imunisasi DPT
Menurut Depkes RI (2005:5), imunisasi DPT diberikan secara subkutan atau intramuscular pada bayi yang berumur 2-11 bulan sebanyak 3 kali dengan interval 4 minggu. Jadwal pemberian imunisasi DPT tersebut sejalan dengan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1059/Menkes/SK/IX/2004 yang menyatakan bahwa pemberian imunisasi DPT pertama harus dilaksanakan setelah bayi berusia 2 bulan dan untuk imunisasi DPT yang berikutnya diberi jarak 1 bulan atau 4 minggu. Menurut Achmadi (2006:61), pemberian vaksin DPT pertama harus menunggu hingga bayi berumur 2 bulan, karena bayi masih punya sisa kekebalan yang diperoleh dari ibu ketika dalam kandungan (maternal antibodi). Selain itu, pemberian menunggu bayi berumur bulan karena reaktogenitas pertusis bayi kecil. Jadwal imunisasi DPT yang tidak diikuti akan memberikan tingkat kekebalan yang berbeda.

c. Jadwal Pemberian Imunisasi Polio
Menurut Depkes RI (2005:5), imunisasi Polio diberikan melalui mulut pada bayi umur 0-11 bulan sebanyak 4 kali dengan jarak waktu pemberian 4 minggu. Jadwal pemberian imunisasi Polio tersebut sejalan dengan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1059/Menkes/SK/IX/2004 yang menyatakan bahwa pemberian imunisasi polio pertama bisa dilaksanakan sejak bayi baru lahir dan untuk imunisasi polio yang berikutnya diberi jarak 1 bulan atau 4 minggu.
Jadwal pemberian imunisasi Polio tersebut juga sesuai dengan rekomendasi WHO (dalam Achmadi, 2006:88) yang menyatakan bahwa pemberian vaksin Polio dianjurkan semuda mungkin. WHO merekomendasikan sejumlah empat kali pemberian yaitu, ketika bayi baru lahir atau at birth, yang kedua dan seterusnya diberikan ketika bayi berumur enam minggu, 10 minggu, dan 14 minggu terutama pada daerah endemik polio dan negara yang dikategorikan sebagai recently polio endemic seperti Indonesia.

d. Jadwal Pemberian Imunisasi Campak
Menurut Depkes RI (2005:5), di negara berkembang imunisasi campak dianjurkan diberikan lebih awal dengan maksud memberikan kekebalan sedini mungkin, sebelum terkena infeksi virus campak secara alami. Pemberian imunisasi lebih awal rupanya terbentur oleh adanya zat anti kebal bawaan yang berasal dari ibu (maternal antibodi), ternyata dapat menghambat terbentuknya zat kebal campak dalam tubuh anak, sehingga imunisasi ulangan masih diberikan 4-6 bulan kemudian. Maka untuk Indonesia imunisasi Campak diberikan secara subkutan dengan dosis 0,5 ml pada anak umur 9-11 bulan.

e. Jadwal Pemberian Imunisasi Hepatitis B
Pemberian imunisasi Hepatitis B bertujuan untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian bayi yang disebabkan oleh infeksi virus Hepatitis B. Pada prinsipnya imunisasi Hepatitis B lebih efektif diberikan sedini mungkin, yaitu pada saat bayi berusia 0-7 hari. Interval pemberian imunisasi antara suntikan ke 1 dan ke 2, serta suntikan ke 2 dan ke 3 minimal satu bulan (Direktorat Jenderal PPM & PL, 2001:31). Jadwal pemberian imunisasi Hepatitis B menurut Dirjen PPM & PL tersebut sejalan dengan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1059/Menkes/SK/IX/2004 yang menyatakan bahwa pemberian imunisasi Hepatitis B dilaksanakan pada saat bayi berusia 0 bulan.
Pemberian vaksin Hepatitis B yang sedini mungkin dianjurkan karena selain respon imun terhadap hepatitis sudah timbul, juga memberikan perlindungan kepada bayi yang terkena risiko Hepatitis B. Apalagi apabila ibu yang mengandungnya menderita hepatitis B, maka respon imun dapat mencegah timbulnya hepatitis B nantinya pada saat dewasa. (Achmadi, 2006:164)

Imunisasi Rutin Pada Bayi

Ada beberapa jenis Imunisasi Rutin Pada Bayi, yaitu:

a. Vaksinasi BCG
Vaksinasi BCG diberikan pada bayi secara suntikan intrakutan dengan dosis 0,05 ml. Vaksinasi BCG dinyatakan berhasil apabila terjadi tuberkulin konversi pada tempat suntikan. Ada tidaknya tuberkulin konversi tergantung pada potensi vaksin dan dosis yang tepat serta cara penyuntikan yang benar. Kelebihan dosis dan suntikan yang terlalu dalam akan menyebabkan terjadinya abses ditempat suntikan. Untuk menjaga potensinya, vaksin BCG harus disimpan pada suhu 20 C (Departemen Kesehatan RI, 2005:5).

b. Vaksinasi DPT
Kekebalan terhadap penyakit difteri, pertusis dan tetanus adalah dengan pemberian vaksin yang terdiri dari toksoid difteri dan toksoid tetanus yang telah dimurnikan ditambah dengan bakteri bortella pertusis yang telah dimatikan. Dosis penyuntikan 0,5 ml diberikan secara subkutan atau intramuscular pada bayi yang berumur 2-11 bulan sebanyak 3 kali dengan interval 4 minggu. Reaksi spesifik yang timbul setelah penyuntikan tidak ada. Gejala biasanya demam ringan dan reaksi lokal tempat penyuntikan. Bila ada reaksi yang berlebihan seperti suhu yang terlalu tinggi, kejang, kesadaran menurun, menangis yang berkepanjangan lebih dari 3 jam, hendaknya pemberian vaksin DPT diganti dengan DT (Departemen Kesehatan RI, 2005:5).

c. Vaksinasi Polio
Untuk kekebalan terhadap polio diberikan 2 tetes vaksin polio oral yang mengandung virus polio yang mengandung virus polio tipe 1, 2 dan 3 dari Sabin. Vaksin yang diberikan melalui mulut pada bayi umur 2-11 bulan sebanyak 4 kali dengan jarak waktu pemberian 4 minggu (Departemen Kesehatan RI, 2005:5).

d. Vaksinasi Campak
Vaksin yang diberikan berisi virus campak yang sudah dilemahkan dan dalam bentuk bubuk kering atau freezeried yang harus dilarutkan dengan bahan pelarut yang telah tersedia sebelum digunakan. Suntikan ini diberikan secara subkutan dengan dosis 0,5 ml pada anak umur 9-11 bulan. Di negara berkembang imunisasi campak dianjurkan diberikan lebih awal dengan maksud memberikan kekebalan sedini mungkin, sebelum terkena infeksi virus campak secara alami. Pemberian imunisasi lebih awal rupanya terbentur oleh adanya zat anti kebal bawaan yang berasal dari ibu (maternal antibodi), ternyata dapat menghambat terbentuknya zat kebal campak dalam tubuh anak, sehingga imunisasi ulangan masih diberikan 4-6 bulan kemudian. Maka untuk Indonesia vaksin campak diberikan mulai anak berumur 9 bulan (Departemen Kesehatan RI, 2005:5).

e. Vaksinasi Hepatitis B
Pemberian imunisasi Hepatitis B bertujuan untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian yang disebabkan oleh infeksi virus Hepatitis B. Pada prinsipnya imunisasi Hepatitis B lebih efektif diberikan sedini mungkin (umur 0-7 hari). Interval pemberian imunisasi antara suntikan ke 1 dan ke 2, serta suntikan ke 2 dan ke 3 minimal satu bulan (Direktorat Jenderal PPM & PL, 2001:31)