Senin, 29 Agustus 2011

Hasil Sidang Itsbat Pemerintah

Hari raya idul fitri 2011 ditetapkan berdasarkan hasil Sidang Itsbat Penetapan 1 Syawal 1432H yang diselenggarakan pemerintah. Pemerintah menggelar sidang itsbat penetapan 1 Syawal 1432 H pada hari Senin tanggal 29 Agustus 2011 sore di Kantor Kementerian Agama, Jakarta Pusat. Sidang itsbat ini dipimpin Menteri Agama Suryadharma Ali dan dihadiri tokoh dan ulama Ormas Islam, seperti NU, Muhammadiyah, Al Washliyah, MUI dan ilmuan Islam.
Kasubdit Pembinaan Syariah dan Hisab Rukyat Kementerian Agama, Muhyiddin, mengatakan sidang dilakukan sesuai ketetapan yang berlaku dalam syariat, yaitu penetapan awal bulan, terutama Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijah oleh pemerintah. Sidang itsbat melibatkan sejumlah pakar hisab rukyat dan instansi yang tergabung dalam Badan Hisab Rukyat (BHR). Di antaranya, Observatorium Bosscha ITB, Planetarium Jakarta, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), serta Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal).
Dalam sidang ini dijelaskan sejumlah hasil hisab dan rukyat dari berbagai wilayah di Indonesia. Berdasarkan pengamatan hilal 1 Syawal 1432 H menunjukkan hasil negatif. Hanya dua wilayah yang mengaku melihat hilal, yaitu Kudus Jawa Tengah yaitu pukul 17.09.10 detik dan Cakung Jakarta timur pada pukul 17.05 menit. Hal ini disampaikan oleh Direktur Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah, Kementerian Agama, Ahmad Djauhari, saat menyampaikan laporan hasil rukyat sebagai bahan Sidang Itsbat. Djauhari yang juga Kepala Badan Hisab Rukyat Kemenag mengatakan, pemerintah melakukan rukyat di 96 lokasi. Sebanyak 30 lokasi di antaranya Papua, Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Gorontalo, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Bali, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, DKI Jakarta, Lampung Barat, Jambi, Sumatera Bara, dan Riau menyatakan tidak melihat hilal.

Kurang Energi Protein (KEP)

Definisi Kurang Energi Protein

Kurang Energi Protein (KEP) adalah seseorang yang kurang gizi yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dalam makanan sehari-hari dan atau gangguan penyakit tertentu. Anak disebut KEP apabila berat badannya kurang dari 80 % indeks berat badan menurut umur (BB/U) baku WHO-NCHS. KEP merupakan defisiensi gizi (energi dan protein) yang paling berat dan meluas terutama pada balita. Pada umumnya penderita KEP berasal dari keluarga yang berpenghasilan rendah (Supariasa, 2001).
Menurut Soekirman (2000) Kurang Energi Protein (KEP) adalah keadaan kurang gizi yang dianggap oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dalam makanan sehari-hari dan gangguan penyakit tertentu sehingga tidak memenuhi angka kecukupan gizi. Anak disebut KEP apabila berat badannya kurang dari 80% indeks berat badan menurut umur (BB/U) baku WHO-NCHS. KEP merupakan defisiensi gizi (energi dan protein) yang paling berat dan meluas terutama pada balita.
Penyakit KEP atau Protein Energy Malnutrition dapat diartikan sebagai salah satu penyakit gangguan gizi yang penting dimana pada penyakit KEP ditemukan berbagai macam keadaan patologis yang disebabkan oleh kekurangan energi maupun protein dalam proporsi yang bermacam-macam. Akibat kekurangan tersebut timbul keadaan KEP pada derajat yang sangat ringan sampai berat (Pudjiadi, 2001)

Faktor Penyebab KEP

Penyebab penting terjadinya KEP adalah dimana kesadaran akan kebersihan baik personal hygiene maupun kebersihan lingkungan yang masih kurang sehingga memudahkan balita untuk terserang penyakit infeksi (Nency dan Tohar, 2005). Terlihat pula adanya sinergisme antara status gizi dan infeksi. Keduanya dipengaruhi oleh makanan, kualitas mengasuh anak, kebersihan lingkungan dan lain-lain yang kesemuanya mencerminkan keadaan sosial-ekonomi penduduk serta lingkungan pemukimannya. Menurut Soekirman (2000) beberapa faktor yang dapat menyebabkan KEP, yaitu penyebab langsung, tidak langsung, akar masalah, pokok masalah, seperti yang tergambar pada bagan di bawah ini.

Penyebab Langsung

Penyebab langsung terjadinya KEP yaitu makanan dan penyakit infeksi yang mungkin diderita anak. Timbulnya KEP tidak hanya makanan yang kurang tetapi karena penyakit. Anak yang mendapat makanan yang cukup baik tetapi sering menderita diare atau demam, akhirnya akan menderita KEP. Sebaliknya anak yang makan tidak cukup baik daya tahan tubuhnya (imunitas) dapat melemah. Dalam keadaan demikian mudah diserang infeksi, kurang nafsu makan, dan akhirnya mudah terserang KEP. Dalam kenyataan keduanya (makanan dan penyakit) secara bersama-sama merupakan penyebab KEP (Soekirman, 2000).

Penyebab Tidak Langsung

Menurut Soekirman (2000), penyebab tidak langsung seperti diuraikan di atas timbul karena tiga faktor penyebab tidak langsung yaitu:
1) Tidak cukup tersedia pangan atau makanan keluarga.
Tidak cukupnya persediaan pangan dikeluarga menunjukkan adanya kerawanan ketahanan pangan keluarga (household food insecurity). Artinya kemampuan keluarga untuk mencukupi kebutuhan pangan, baik jumlah maupun mutu gizinya. Ketahanan pangan keluarga terkait dengan ketersediaan pangan (baik dari hasil produksi sendiri maupun dari pasar atau sumber lain), harga pangan dan daya beli keluarga yang dipengaruhi oleh pendapatan keluarga, serta pengetahuan tentang gizi dan keluarga.
2) Pola pengasuhan anak yang tidak memadai.
Pola pengasuhan anak adalah sikap dan perilaku ibu atau pengasuh lain dalam hal dekatnya dengan anak memberikan makanan, merawat menjaga kebersihan, memberikan kasih sayang dan sebagainya. Semuanya itu sangat berpengaruh pada tumbuh kembang anak. Pola asuh yang tidak memadai dapat menyebabkan anak tidak suka makan atau tidak diberi makanan seimbang, dan juga dapat memudahkan terjadinya infeksi. Pola asuh anak berhubungan dengan keadaan ibu seperti kesehatan (fisik dan mental), status gizi, pendidikan umum, pengetahuan tentang pengasuhan anak yang baik. Gizi buruk akibat kurang makan biasanya terjadi pada keluarga miskin, sedangkan untuk pola asuh yang salah terjadi pada keluarga mampu yang kurang memperhatikan keseimbangan gizi makanan anaknya. Pola asuh anak berpengaruh secara signifikan terhadap timbulnya kasus gizi buruk. Menurut Roesli (2004), pola asuh yang berpengaruh terhadap kebutuhan dasar anak adalah asah, asih dan asuh.
  • Asah, menunjukkan kebutuhan akan stimulasi atau rangsangan yang akan merangsang perkembangan kecerdasan anak secara optimal. Ibu yang menyusui merupakan guru pertama yang terbaik bagi bayinya. Seringnya bayi menyusu membuatnya terbiasa berhubungan dengan manusia lain dan dalam hal ini dengan ibunya. Dengan demikian perkembangan sosialnya akan baik dan ia akan mudah berinteraksi dengan lingkungannya kelak. Kebutuhan ini juga berkaitan dengan psikomotor dalam perkembangan anak.
  • Asih, menunjukkan kebutuhan bayi untuk perkembangan emosi dan spiritualnya. Yang terpenting disini adalah pemberian kasih sayang dan perasan aman yang diwujudkan dalam kontak fisik dan psikis sedini mungkin. Seorang bayi yang merasa aman, karena merasa dilindungi, akan berkembang menjadi orang dewasa yang mandiri dengan emosi yang stabil.
  • Asuh, menunjukkan kebutuhan bayi untuk pertumbuhan otaknya. Untuk pertumbuhan suatu jaringan sangat dibutuhkan nutrisi atau makanan yang bergizi. Selain itu asuh juga mencerminkan kebutuhan fisik biomedis lainnya yang meliputi perawatan kesehatan primer seperti imunisasi, papan, hygiene dan sanitasi, sandang, kesegaran jasmani dan rekreasi.
3) Keadaan sanitasi yang buruk dan tidak tersedia air bersih serta pelayanan kesehatan dasar yang tidak memadai.
Akses atau keterjangkauan anak dan keluarga terhadap air bersih dan kebersihan lingkungan besar pengaruhnya terhadap pengasuhan anak. Demikian juga pengasuhan anak yang baik memerlukan pelayanan kesehatan yang baik seperti imunisasi, pemeriksaan kehamilan, pertolongan persalinan, penimbangan anak, pendidikan ksehatan dan gizi, serta sarana kesehatan yang baik seperti posyandu, puskesmas, praktek bidan atau dokter, dan rumah sakit. Makin tersedia air bersih yang cukup untuk keluarga serta makin dekat jangkauan kelurga terhadap pelayanan dan sarana kesehatan, ditambah dengan pemahaman ibu tentang kesehatan dan gizi, makin kecil risiko anak terkena penyakit dan kekurangan gizi termasuk KEP. Keterjangkauan dan ketersediaan keluarga terhadap air bersih sangat berhubungan erat dengan kebersihan lingkungan. Kesadaran akan kebersihan lingkungan yang meliputi higiene perorangan/ personal hygiene dan sanitasi lingkungan yang masih kurang, menjadi penyebab kekurangan gizi di negara yang sedang berkembang seperti Indonesia (Nency dan Tohar, 2005).

Daftar Pustaka

Rabu, 24 Agustus 2011

Pengetahuan

Definisi Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh dari mata dan telinga (Notoatmodjo, 2003).
Pengetahuan terhadap kesehatan adalah pengertian dan pola pikir yang dimiliki oleh seseorang terhadap kesehatan yang diwujudkan dalam perilaku yang berhubungan dengan kesehatan. Pengertian dan pola pikir seseorang terhadap kesehatan dipengaruhi oleh pengetahuan yang dimiliki orang tersebut tentang kesehatan. Pengetahuan tentang kesehatan dapat diperoleh secara formal maupun non formal. Secara formal, pengetahuan kesehatan dapat diperoleh dari pendidikan umum, pendidikan kejuruan, pendidikan kedinasan, pendidikan keagamaan dll. Sedangkan pengetahuan tentang kesehatan secara non formal dapat diperoleh melalui media massa, media cetak, dan media elektronik (Notoatmodjo, 2003).
Seseorang yang mempunyai pengetahuan yang luas terhadap kesehatan maka akan dapat memahami nilai kesehatan itu sendiri yang nantinya dapat diwujudkan dalam perilaku yang selalu menjaga kesehatan pribadi maupun lingkungan. Mayoritas masyarakat pedesaan kurang mendapat informasi tentang kesehatan sehingga dalam menjaga kesehatannya masih menganut nilai-nilai tradisional yang belum tentu benar (Notoatmodjo, 2003).

Tingkat Pengetahuan

Pengetahuan mempunyai 6 tingkatan yaitu : (Notoatmodjo, 2003).
  • Tahu adalah mengingat suatu materi yang telah dipelajari.
  • Memahami adalah suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui.
  • Aplikasi adalah suatu kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada kondisi sebenarnya.
  • Analisa adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi ke dalam komponen-komponennya.
  • Sintesis adalah suatu kemampuan untuk menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan.
  • Evaluasi adalah kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap objek.

Macam- Macam Faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan

a. Pendidikan
Pendidikan adalah segala sesuatu yang dilakukan secara sadar dengan tujuan untuk mengubah tingkah laku manusia ke arah yang lebih baik. Notoatmodjo (2003), berpendapat bahwa pendidikan secara umum adalah segala upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi orang lain baik individu, kelompok, maupun masyarakat, sehingga mereka melakukan apa yang diharapkan oleh pelaku pendidikan.
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia No.2 tahun 1989 pasal 2, jenjang pendidikan adalah suatu tahap dalam pendidikan berkelanjutan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan para peserta didik serta keluasan dan kedalaman bahan pengajaran. Jenjang pendidikan sekolah terdiri dari pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Di Indonesia terdapat 3 bentuk pendidikan dalam sistem pendidikan yaitu:
1) Pendidikan formal.
Pendidikan yang diadakan di sekolah / tempat tertentu secara sistematis, mempunyai jenjang dan dalam kurun waktu tertentu, serta berlangsung mulai dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi, berdasarkan aturan resmi yang telah ditetapkan. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 2 tahun 1989 tentang sistem pendidikan nasional menyebutkan bahwa pendidikan formal dibedakan menjadi 3 tingkatan yaitu pendidikan dasar diperuntukkan bagi warga negara yang berumur 7 tahun, pendidikan menengah dibedakan atas pendidikan menengah pertama dan menengah atas, sedangkan perguruan tinggi dengan lama belajar 3-5 tahun bagi penduduk yang berusia diatas 19 tahun.
2) Pendidikan non formal.
Pendidikan yang diadakan dengan sengaja, tertib, dan berencana, diluar kegiatan persekolahan. Menurut Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 079/01975 tanggal 17 April, bidang pendidikan non formal meliputi: pendidikan masyarakat, keolahragaan, dan pembinaan generasi muda.
3) Pendidikan informal.
Pendidikan yang diadakan oleh siapa saja, dimana saja dan baik secara langsung maupun tidak langsung. Pendidikan ini terutama berlangsung di lingkungan keluarga, tetapi dapat juga berlangsung di lingkungan sekitar setiap hari tanpa ada batas waktu.
b. Pengalaman
Pengalaman adalah segala sesuatu yang pernah dialami oleh masyarakat dalam kehidupan, baik hal yang menyenangkan maupun menyedihkan. Pengalaman diperoleh baik secara sadar maupun tidak sadar yang dimulai sejak lahir sampai manusia tersebut meninggal. Pengalaman yang diperoleh akan menambah pengetahuan seseorang yang nantinya akan mempengaruhi tingkah laku
(Alwi, 2005).

Daftar Pustaka

Alwi, Hasan. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.
Notoatmodjo, Soekidjo. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Diabetes Mellitus

Pengertian Diabetes Mellitus

Istilah Diabetes Mellitus diperoleh dari bahasa latin yang berasal dari kata Yunani, yaitu Diabetes yang berarti pancuran dan Mellitus yang berarti madu. Jika diterjemahkan, Diabetes Mellitus adalah pancuran madu. Istilah pancuran madu berkaitan dengan kondisi penderita yang mengeluarkan sejumlah besar urin dengan kadar gula yang tinggi (Wijayakusuma, 2004). Diabetes mellitus (DM) merupakan suatu sindrom dengan terganggunya metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein akibat kurangnya sekresi insulin atau penurunan sensitivitas jaringan terhadap insulin (Guyton, 2007).

Penderita diabetes tidak bisa memproduksi insulin dalam jumlah yang cukup, atau tubuh tidak mampu menggunakan insulin secara efektif, sehingga terjadilah kelebihan gula dalam darah. Kelebihan gula yang kronis di dalam darah (hiperglikemia) ini menjadi racun dalam tubuh. Sebagian glukosa yang tertahan di dalam darah itu melimpah ke system urine untuk dibuang melalui urine. Air kencing penderita diabetes yang mengandung gula dalam kadar tinggi tersebut menarik bagi semut, karena itulah gejala ini disebut juga gejala kencing manis (Lanny, 2006).

Gejala-gejala diabetes yang khas adalah rasa haus yang berlebihan, poliuri, pruritus, serta penurunan berat badan tanpa penyebab yang jelas. Diabetes dapat pula bermanifestasi sebagai satu atau lebih penyulit yang bertalian. Diabetes mellitus, terutama NIDDM (DMT2) bisa tanpa gejala, sehingga diagnosis sering dibuat berdasarkan ketidaknormalan hasil pemeriksaan darah rutin atau uji glukosa dalam urine (WHO dalam Suyono, 2000).

Klasifikasi Diabetes Mellitus

DM saat ini terbagi menjadi 4 tipe, yaitu DM tipe 1, DM tipe 2, Diabetes Kehamilan, dan DM tipe lain. Namun, secara klinis DM hanya dibagi menjadi 2 tipe: DM tipe 1 dan DM tipe 2 (Sudoyo, 2006). Gambaran klinis pasien dengan DM tipe 1 adalah usia onset biasanya <20 tahun, dan gangguan ini disebabkan utamanya oleh karena kurangnya produksi insulin oleh sel beta (β) pankreas. Sedangkan DM tipe 2 mempunyai onset usia biasanya >40 tahun, dan gangguan disebabkan karena resistensi jaringan terhadap efek metabolik insulin (Guyton, 2007).

Diabetes Tipe I

Terdapat ketidakmampuan untuk menghasilkan insulin karena sel-sel beta pankreas telah dihancurkan oleh proses autoimun. Glukosa yang berasal dari makanan tidak dapat disimpan dalam hati meskipun tetap berada dalam darah dan menimbulkan hiperglikemia postprandial (sesudah makan). Jika konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi, ginjal tidak dapat menyerap kembali semua glukosa yang tersaring keluar akibatnya glukosa tersebut diekskresikan dalam urin (glukosuria). Ekskresi ini akan disertai oleh pengeluaran cairan dan elektrolit yang berlebihan, keadaan ini dinamakan diuresis osmotik. Pasien mengalami peningkatan dalam berkemih (poliuria) dan rasa haus (polidipsi) (Brunner, 2002).

Diabetes Tipe II

Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) atau Diabetes Mellitus Tidak Tergantung Insulin (DMTTI) disebabkan karena kegagalan relatif sel beta dan resistensi insulin. Resistensi insulin adalah turunnya kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh hati. Sel beta tidak mampu mengimbangi resistensi insulin ini sepenuhnya, artinya terjadi defisiensi relatif insulin. Ketidakmampuan ini terlihat dari berkurangnya sekresi insulin pada rangsangan glukosa, namun pada rangsangan glukosa bersama bahan perangsang sekresi insulin lain. Berarti sel beta pankreas mengalami desensitisasi terhadap glukosa (Mansjoer, 2001).
Normalnya insulin akan terikat dengan reseptor khusus pada permukaan sel. Sebagai akibat terikatnya insulin dengan reseptor tersebut, terjadi suatu rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa di dalam sel. Resistensi insulin pada diabetes tipe II disertai dengan penurunan reaksi intrasel, dengan demikian insulin menjadi tidak efektif untuk menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan. Untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah terbentuknya glukosa dalam darah harus terdapat peningkatan insulin yang disekresikan. Pada penderita toleransi glukosa terganggu, keadaan ini terjadi akibat sekresi insulin yang berlebihan dan kadar glukosa akan dipertahankan pada tingkat yang normal atau sedikit meningkat. Namun jika sel-sel beta tidak mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin maka kadar glukosa akan meningkat danterjadi diabetes tipe II (Brunner, 2002).

Daftar Pustaka

  1. Brunner dan Suddarth. 2002. Edisi 8 Vol 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
  2. Guyton, Arthur C. Hall, John E. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
  3. Lanny, dkk. 2006. Diabetes. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
  4. Mansjoer, A. 2001. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi ketiga, Jilid pertama. Jakarta: Media Aesculapius FK UI.
  5. Suyono, Joko. 2000. Pencegahan Diabetes Mellitus. Jakarta: Penerbit Hipokrates.

Senin, 08 Agustus 2011

Jenis-Jenis Vaksin dalam Program Imunisasi

Vaksin-vaksin yang saat ini dipakai dalam program imunisasi rutin di Indonesia adalah: (Iswandi, dkk, 2008:35)
  1. Vaksin BCG (Bacillus Calmette Guerin) Indikasi: Untuk pemberian kekebalan aktif terhadap tuberkulosa Kemasan: a) Kemasan dalam ampul, beku kering, 1 box berisi 10 ampul vaksin. b) Setiap 1 ampul vaksin dengan 4 ml pelarut. Cara pemberian dan dosis: a) Sebelum disuntikkan vaksin BCG harus dilarutkan terlebih dahulu. Melarutkan dengan menggunakan alat suntik steril (ADS 5 ml). b) Dosis pemberian: 0,05 ml sebanyak 1 kali. c) Disuntikkan secara intrakutan didaerah lengan kanan atas (insertio musculus deltoideus), dengan menggunakan ADS 0,05 ml. Kontraindikasi: a) Adanya penyakit kulit yang berat/menahun seperti eksim, furunkulosis, dan sebagainya. b) Mereka yang sedang menderita TBC. Efek samping: Imunisasi BCG tidak menyebabkan reaksi yang bersifat umum seperti demam, 1-2 minggu kemudian akan timbul indurasi dan kemerahan ditempat suntikan yang berubah menjadi pustula, kemudian pecah menjadi luka. Luka tidak perlu pengobatan, akan sembuh secara spontan dan meninggalkan tanda parut. Kadang-kadang terjadi pembesaran kelenjar regional diketiak dan atau leher, terasa padat, tidak sakit, dan tidak menimbulkan demam. Reaksi ini normal, tidak memerlukan pengobatan dan akan menghilang dengan sendirinya.
  2. Vaksin TT (Tetanus Toxoid) Indikasi: Untuk pemberian kekebalan aktif terhadap tetanus Kemasan: a) 1 box vaksin terdiri dari 10 vial. b) 1 vial berisi 10 dosis. c) Vaksin TT adalah vaksin yang berbentuk cairan. Cara pemberian dan dosis: Sebelum digunakan vaksin harus dikocok terlebih dahulu agar suspensi menjadi homogen. Untuk mencegah tetanus/tetanus neonatal terdiri dari 2 dosis primer yang disuntikkan secara intramuskular, dengan dosis pemberian 0,5 ml dengan interval minimal 4 minggu. Kontraindikasi: Gejala-gejala berat karena dosis pertama TT Efek samping: Efek samping jarang terjadi dan bersifat ringan. Gejala-gejala seperti lemas dan kemerahan pada lokasi suntikan yang bersifat sementara, dan kadang-kadang gejala demam.
  3. Vaksin DT (Difteria dan Tetanus) Indikasi: Untuk pemberian kekebalan simultan terhadap difteri dan tetanus. Kemasan: a) 1 box vaksin terdiri dari 10 vial. b) 1 vial berisi 10 dosis. c) Vaksin DT adalah vaksin yang berbentuk cairan. Cara pemberian dan dosis: Sebelum digunakan vaksin harus dikocok terlebih dahulu agar suspensi menjadi homogen. Disuntikkan secara intramuskular atau subkutan dalam, dengan dosis pemberian 0,5 ml. Dianjurkan untuk anak usia dibawah 8 tahun. Untuk usia 8 tahun atau lebih dianjurkan imunisasi dengan vaksin TD. Kontraindikasi: Gejala-gejala berat karena dosis pertama DT Efek samping: Gejala-gejala seperti lemas dan kemerahan pada lokasi suntikan yang bersifat sementara, dan kadang-kadang gejala demam.
  4. Vaksin Polio Indikasi: Untuk pemberian kekebalan aktif terhadap poliomyelitis. Kemasan: a) 1 box vaksin terdiri dari 10 vial. b) 1 vial berisi 10 dosis. c) Vaksin polio adalah vaksin yang berbentuk cairan. d) Setiap vial vaksin polio disertai 1 buah penetes (dropper) terbuat dari bahan plastik. Cara pemberian dan dosis: Diberikan secara oral (melalui mulut), 1 dosis adalah 2 (dua) tetes sebanyak 4 kali (dosis) pemberian, dengan interval setiap dosis minimal 4 minggu. Setiap membuka vial baru harus menggunakan penetes (dropper) yang baru. Kontraindikasi: Pada individu yang menderita “Immune Deficiency”. Tidak ada efek yang berbahaya yang timbul akibat pemberian polio pada anak yang sedang sakit. Namun jika ada keraguan, misalnya sedang menderita diare, maka dosis ulangan dapat diberikan setelah sembuh. Efek samping: Pada umumnya tidak terdapat efek samping. Efek samping berupa paralisis yang disebabkan oleh vaksin sangat jarang terjadi (kurang dari 0,17:1.000.000)
  5. Vaksin Campak Indikasi: Untuk pemberian kekebalan aktif terhadap penyakit campak. Kemasan: a) 1 box vaksin terdiri dari 10 vial. b) 1 vial berisi 10 dosis. c) 1 box pelarut berisi 10 ampul @ 5 ml. d) Vaksin ini berbentuk beku kering. Cara pemberian dan dosis: a) Sebelum disuntikkan vaksin campak harus dilarutkan terlebih dahulu dengan pelarut steril yang telah tersedia yang berisi 5 ml cairan pelarut. b) Dosis pemberian: 0,5 ml disuntikkan secara subkutan pada lengan kiri atas, pada usia 9-11 bulan. Kontraindikasi: Individu yang mengidap penyakit “Immune Deficiency” atau individu yang diduga menderita gangguan respon imun karena leukimia, lymphoma. Efek samping: Hingga 15% pasien dapat mengalami demam ringan dan kemerahan selama 3 hari yang dapat terjadi 8-12 hari setelah vaksinasi.
  6. Vaksin Hepatitis B PID Indikasi: Untuk pemberian kekebalan aktif terhadap infeksi yang disebabkan oleh virus hepatitis B. Kemasan: a) Vaksin Hepatitis B adalah vaksin yang berbentuk cairan. b) 1 box vaksin terdiri dari 100 HB PID Cara pemberian dan dosis: a) Vaksin disuntikkan dengan 1 buah HB PID, pemberian suntikan secara intra muskuler, sebaiknya pada anterolateral paha. b) Pemberian sebanyak 1 dosis. c) Dosis diberikan pada usia 0-7 hari. Kontraindikasi: Hipersensitif terhadap komponen vaksin. Sama halnya seperti vaksin-vaksin lain, vaksin ini tidak boleh diberikan kepada penderita infeksi berat yang disertai kejang. Efek samping: Reaksi lokal seperti rasa sakit, kemerahan, dan pembengkakan disekitar tempat penyuntikan. Reaksi yang terjadi bersifat ringan dan biasanya hilang setelah 2 hari.
  7. Vaksin DPT-HB Indikasi: Untuk pemberian kekebalan aktif terhadap penyakit difteri, tetanus, pertusis, dan hepatitis B. Kemasan: a) 1 box vaksin terdiri dari 10 vial @ 5 dosis b) Warna vaksin putih keruh seperti vaksin DPT Cara pemberian dan dosis: a) Pemberian dengan cara intra muskuler, 0,5 ml sebanyak 3 dosis. b) Dosis pertama pada usia 2 bulan, dosis selanjutnya dengan interval minimal 4 minggu (1 bulan).

Penyakit yang Diupayakan Pencegahannya Melalui Program Imunisasi

Menurut Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan (2001:2), dari sebagian kecil penyakit yang telah ditemukan vaksinnya, hanya 7 yang diupayakan pencegahannya melalui program imunisasi yang untuk selanjutnya kita sebut Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I). Beberapa pertimbangan untuk memasukkannya kedalam program antara lain adalah besarnya masalah yang ditimbulkan, keganasan penyakit, efektivitas vaksin, dan yang terakhir adalah kemungkinan pengadaan vaksin.
Berikut ini adalah ke 7 jenis penyakit tersebut:

1) Difteri
Difteri adalah penyakit yang disebabkan oleh Corynebacterium diphtheriae. Penyebarannya adalah melalui kontak fisik dan pernafasan. Gejala awal penyakit adalah radang tenggorokan, hilang nafsu makan, dan demam ringan. Dalam 2-3 hari timbulselaput putih kebiru-biruan pada tenggorokan dan tonsil. Difteri dapat menimbulkan komplikasi berupa gangguan pernapasan yang berakibat kematian (Direktorat Jenderal PP&PL, 2005:5).

2) Pertusis
Disebut juga batuk rejan atau batuk 100 hari adalah penyakit pada saluran pernapasan yang disebabkan oleh Bordetella pertussis. Penyebaran pertusis adalah melalui tetesan-tetesan kecil yang keluar dari batuk atau bersin. Gejala penyakit adalah pilek, mata merah,bersin, demam, dan batuk ringan yang lama-kelamaan batuk menjadi parah dan menimbulkan batuk menggigil yang cepat dan keras. Komplikasi pertusis adalah pneumonia bacterialis yang dapat menyebabkan kematian (Direktorat Jenderal PP&PL, 2005:5).

3) Tetanus
Adalah penyakit yang disebabkan oleh Clostridium tetani yang menghasilkan neurotoksin. Penyakit ini tidak menyebar dari orang ke orang, tetapi melalui kotoran yang masuk kedalam luka yang dalam. Gejala awal penyakit ini adalah kaku otot pada rahang, disertai kaku pada leher, kesulitan menelan, kaku otot perut, berkeringat, dan demam. Pada bayi terdapat juga gejala berhenti menetek (sucking) antara 3-28 hari setelah lahir. Gejala berikutnya adalah kejang yang hebat dan tubuh menjadi kaku. Komplikasi tetanus adalah patah tulang akibat kejang, pneumonia, dan infeksi lain yang dapat menimbulkan kematian (Direktorat Jenderal PP&PL, 2005:5).

4) Tuberkulosis
Adalah penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis (disebut juga batuk darah). Penyakit ini menyebar melalui pernapasan lewat batuk atau bersin. Gejala awal penyakit ini adalah lemah badan, penurunan berat badan, demam, dan keluar keringat pada malam hari. Gejala selanjutnya adalah batuk terus menerus, nyeri dada, dan (mungkin) batuk darah. Gejala lain tergantung pada organ yang diserang. Tuberculosis dapat menyebabkan kelemahan dan kematian (Direktorat Jenderal PP&PL, 2005:5).

5) Campak
Adalah penyakit yang disebabkan oleh virus measles. Disebarkan melalui droplet bersin atau batuk dari penderita. Gejala awal penyakit ini adalah demam, bercak kemerahan, batuk, pilek, conjunctivitis (mata merah). Selanjutnya timbul ruam pada muka dan leher, kemudian menyebar ketubuh dan tangan serta kaki. Komplikasi campak adalah diare hebat, peradangan pada telinga dan infeksi saluran napas (pneumonia) (Direktorat Jenderal PP&PL, 2005:5).

6) Poliomielitis
Adalah penyakit pada susunan saraf pusat yang disebabkan oleh satu dari tiga virus yang berhubungan, yaitu virus polio tipe 1, 2, atau 3. Secara klinis penyakit polio adalah anak dibawah umur 15 tahun yang menderita lumpuh layu akut. Penyebaran penyakit ini adalah melalui kotoran manusia (tinja) yang terkontaminasi. Kelumpuhan dimulai dengan gejala demam, nyeri otot, dan kelumpuhan terjadi pada minggu pertama sakit. Kematian bisa terjadi jika otot-otot pernapasan terinfeksi dan tidak segera ditangani (Direktorat Jenderal PP&PL, 2005:5).

7) Hepatitis B
Hepatitis B (penyakit kuning) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus hepatitis B yang merusak hati. Penyabaran penyakit ini adalah melalui suntikan yang tidak aman, dari ibu ke bayi selama proses persalinan, melalui hubungan seksual. Infeksi pada anak biasanya tidak menimbulkan gejala. Gejala yang ada adalah merasa lemah, gangguan perut, dan gejala lain seperti flu. Urine menjadi kuning, kotoran menjadi pucat. Warna kuning bisa terlihat pula pada mata ataupun kulit. Penyakit ini bisa menjadi kronis dan menimbulkan sirosis hepatis, kanker hati dan menimbulkan kematian (Direktorat Jenderal PP&PL, 2005:5).

Pengertian Imunisasi

Imunisasi berasal dari kata imun, kebal atau resisten. Jadi imunisasi adalah suatu tindakan untuk memberikan kekebalan dengan cara memasukkan vaksin ke dalam tubuh manuasia (Departemen Kesehatan RI, 1994:3).

Departemen Kesehatan RI (2005:3) menyebutkan imunisasi adalah suatu usaha yang dilakukan dalam pemberian vaksin pada tubuh seseorang sehingga dapat menimbulkan kekebalan terhadap penyakit tertentu.Vaksin itu sendiri adalah suatu produk biologis yang terbuat dari kuman, komponen kuman (bakteri, virus, atau riketsia), atau racun kuman (toxoid) yang telah dilemahkan atau dimatikan dan akan menimbulkan kekebalan secara spesifik secara aktif terhadap penyakit tertentu (Direktorat Jenderal PP & PL, 2005:9).

Sedangkan kebal adalah suatu keadaan dimana tubuh mempunyai daya kemampuan mengadakan pencegahan penyakit dalam rangka menghadapi serangan kuman tertentu (Departemen Kesehatan RI, 1994:3)